Sementara itu tinjauan psikologis disampaikan oleh Dr Harmaini dari UIN Riau. sederhana Dr Harmaini menilai berkembangnya aliran sesat itu karena pengikutnya minimal memiliki tiga kecenderungan menurut tinjauan psikologis.
Pertama, frustasi yakni menginginkan sesuatu tetapi tidak kunjung mendapatkannya. Kedua, stress suatu tekanan psikologis karena kehilangan sesuatu yang telah didapatkan. Ketiga, depresi tekanan psikologis terus menerus tanpa jeda dan tak bisa diatasi sendiri oleh penderita. Nah, kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh para petualang untuk memanfaatkan mereka entah dalam sebuah organisasi sosial seperti Gafatar ataupun aksi teror.
Pondasi Kesesatan
Sementara itu pemateri dalam diksusi tersebut Dr Iskandar Arnel dari UIN Riau memaparkan bahwa kesesatan bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Ketiadaan hidayah (petunjuk) dan ilmu ternyata bukan faktor utama penyebab tergelincirnya orang pada aliran sesat. Lalu apa? Menurutnya kesesatan berkaitan erat dengan sikap seseorang terhadap ilmu dan kebenaran. Seseorang yang menuntuk ilmu dengan semangat, keterbukaan, ketelitian dan rendah hati biasanya akan terhindar dari kesesatan.
Sementara sebaliknya seseorang yang menyikapinya dengan ‘rasa sudah penuh’, sombong, tertutup, ceroboh dan suka ingkar cenderung terperangkap dalam kesesatan yang berkepanjangan. Menurut Dr Arnel fondasi kesesatan itu mengutip pakar Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas dibagi tiga. Pertama, al-la adriyyah (saya tidak tahu). Inilah adalah karakteristik agnostic yaitu orang yang selalu meragukan eksistensi sesuatu. Kedua, al-indiyyah (menurut saya). Ini karakteristik orang yang menerima sesuatu kebenaran berdasarkan subyektifnya pribadi saja ‘menurut saya’.
Ketiga, al-inadiyyah adalah karakteristik yang menunjukkan keras kepala. Jika yang pertama meragukan eksistensi dan yang kedua menerima kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif maka yang ketiga ini menolak keduanya sekaligus yakni eksistensi dan kebenaran. Bagi seorang inadiyyah eksistensi itu hanya suatu ilusi atau fantasi yang sebenarnya tidak pernah ada, akan tetapi karena alasan tertentu dianggap ada.
Ketiga karakteristik di atas secara sendiri-sendiri maupun sekaligus menjadi fondasi dasar bagi rancang bangun kesesatan dalam diri seseorang. Sikap la adriyyah akan mengkristal jadi sikap tidak mau tahu sehingga terjerumus ke dalam mentalitas diri yang selalu meragukan kebenaran. Sikap al-indiyyah akan mewariskan sikap orang yang bersangkutan berprinsip bahwa hanya pandangannya saja yang benar, sedangkan yang lain tidak. Sedangkan al-inadiyyah mengkristal jadi sikap yang selalu menolak dan membantah berbagai bukti maupun alasan yang tidak terbantahkan.
Orang yang punya sikap ini akan melengkapi diri dengan kemampuan dan seni retorika ‘tidak mau kalah’ dalam berdebat. Apa akibatnya dalam kehidupan sosial ketiga karakteristik ini. Yang pertama saya tidak tahu dan tidak mau tahu. Sikap ini membuat menjamurnya kemaksiatan, judi, zina, minuman keras. Mereka tidak merasa semua itu melanggar kebenaran karena mereka meragukan kebenaran itu sendiri. Sedangkan sikap yang kedua bahwa kebenaran itu menurut saya maka ini memunculkan praktik-praktik agama sempalan aliran sesat. Sebab kebenaran bukan berdasarkan standar ilahi tetapi standar subjektif. Sikap inilah yang melahirkan nabi-nabi palsu dan teori-teori sesuka hati termasuk liberalisasi agama dan juga gerakan LGBT tersebut.
Sedangkan aplikasi sikap ketiga yakni al inadiyyah bisa dijumpai di kalangan ekstrimis dan orang-orang fanatik buta. Mereka cenderung menolak dan menyerang secara membabi-buta semua koreksi yang ditujukan pada sikap mereka. Mengembangkan kebiasaan berdebat yang tidak mengetahui kebenaran atau kesalahan lawan bicaranya. Kebiasaan ini membuat mereka merusak logika dan retorika akal sehat mengaburkan hikmah dan menyesatkan orang lain.
Ciri-ciri Ajaran Sesat
Sesat tidak sesatnya suatu ajaran khusus dalam Islam ada standarnya. Fatwa resmi soal ini pernah dikeluarkan oleh Majelis Agama Brunai Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABIM) pada tahun 1994 dan dipertajam lagi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2007.