(RIAUPOS.CO) - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) kasus perdata kebakaran lahan PT Nasional Sago Prima (NSP), anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk.
Keputusan MA tersebut diterbitkan 19 November 2020, sehingga perusahaan hutan tanaman industri yang beroperasi di Kepulauan Meranti ini, tetap harus bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas 3.000 ha di lahan konsesinya.
Dengan demikian MA dukung putusan hasil sidang kepada PT NSP untuk membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan Rp1,072 triliun. Demikian disampaikan oleh Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Ditjen Gakkum, KLHK, Jasmin Ragil Utomo, Rabu (25/11) siang.
"Ditolaknya PK PT NSP menunjukkan gugatan KLHK sudah tepat dan semakin menunjukkan keseriusan KLHK dalam menindak pembakar hutan dan lahan," ungkapnya.
Dirjen Gakkum Rasio Ridho Sani mengapresiasi putusan MA yang menguatkan pembuktian terhadap kasus tersebut. "Majelis Hakim telah menetapkan prinsip in dubio pro natura. Kami sangat menghargai putusan ini. Pihak PT NSP harus bertanggung jawab atas kebakaran lahan di lokasi mereka," ujarnya.
Sebelumnya Makamah Agung telah memutuskan di tingkat kasasi, 17 Desember 2018, PT NSP untuk bertanggung jawab atas kebakaran lahan seluas 3.000 ha di lahan konsesinya, Kabupaten Meranti. 2014 MA menghukum PT NSP membayar ganti rugi materil sebesar Rp319,1 miliar dan biaya pemulihan lingkungan Rp733,7 miliar, dengan total seluruhnya Rp 1,072 triliun.
Berdasarkan keputusan itu, PT NSP mengajukan PK. Putusan ini menambah deret keberhasilan KLHK dalam menindak penyebab kebakaran hutan dan lahan. "Saat ini KLHK sudah menggugat 20 perusahaan terkait karhutla, dan sudah ada 9 perkara yang berkekuatan hukum tetap dengan nilai gugatan Rp3,5 triliun," beber Jasmin Ragil Utomo.
Rasio Sani menambahkan bahwa pihaknya tidak akan berhenti menindak pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan. Termasuk kejahatan terkait dengan karhutla. Menurutnya, Indonesia harus bebas asap. ‘‘Kita harus melindungi masyarakat dari bencana asap dan bencana ekologis lainnya. Sudah sepantasnya pelaku kejahatan sumber daya alam dihukum seberat-beratnya, biar jera," tegas Rasio Sani.
Menindaklanjuti keberlangsungan operasional dan dampak terhadap hukuman yang telah diputuskan MA tersebut, Rabu (25/11) sekitar pukul 15.58 WIB, Riau Pos berupaya menghubungi pihak perusahaan terkait melalui panggilan telepon genggam. Namun sayang belum dijawab.
Panggilan telepon genggam dilakukan kepada Humas PT NSP Setya Budi Utomo (081270698xxx), hingga Kuasa Hukum perusahaan tersebut Harjon Sinaga (0811140xxx) belum berhasil dimintai keterangannya.
Seperti sebelum PK diajukan, Harjon Sinaga di Jakarta memberikan keterangan resmi terhadap putusan MA tersebut. Menurutnya kliennya cukup menghormati putusan disamping menyayangkan jika putusan dianggap tidak mempertimbangkan alat bukti serta pendapat ilmiah para saksi yang diajukan dalam persidangan. "Di sana semuanya mematahkan tuduhan dari penggugat," ungkapnya.
Ia menilai putusan hanya berdasarkan pada bukti-bukti dan asumsi yang dinilai lemah yang diajukan oleh penggugat sehingga dinilai salah menerapkan kepastian hukum.
Hal ini terbukti dengan adanya putusan Pengadilan Tinggi yang menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, sehingga disinyalir terjadi dissenting opinion.
Pasalnya, ia membeberkan jika salah satu hakim yang berkompeten dalam permasalahan lingkungan hidup nyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan majelis hakim. Terlebih ketika perkara sempat diputus dalam tingkat Pengadilan Negeri (PN), dan PT NSP dinyatakan tidak bersalah.(ade)
Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang