JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pada Ahad (15/8) meninggalkan istana kepresidenan di Kabul kepada gerilyawan Taliban yang melengserkan kekuasaannya dalam waktu beberapa pekan.
Dua kali terpilih sebagai presiden, keduanya dilalui dengan sengketa yang sengit, Ghani meninggalkan negaranya tanpa mengatakan kemana akan pergi. Al Jazeera melaporkan dia telah terbang ke Uzbekistan. “Untuk menghindari pertumpahan darah, saya pikir lebih baik pergi,” kata dia seperti dilansir Antara dari Reuters.
Ghani pertama kali menjabat sebagai presiden pada 2014 menggantikan Hamid Karzai yang memimpin Afghanistan setelah invasi pasukan sekutu pimpinan AS pada 2001.Dia mengawasi penyelesaian misi tempur AS, penarikan pasukan asing yang hampir selesai dari Afghanistan, dan proses perdamaian yang kacau dengan pemberontak Taliban.
Ghani berupaya mengakhiri perang puluhan tahun sebagai prioritas meski gerilyawan Taliban terus menyerang pemerintahan dan pasukan keamanan. Dia memulai pembicaraan damai dengan mereka di ibu kota Qatar, Doha, pada 2020.
Namun negara lain merasa frustrasi dengan lambatnya kemajuan pembicaraan itu dan pada reaksi Ghani yang makin tajam. Seruan untuk membentuk pemerintah sementara pun makin meningkat.
Selama menjabat, dia telah mengangkat kaum muda dan berpendidikan untuk memimpin posisi yang dulu dijabat oleh sekumpulan figur elite dan jaringan patronasi.
Ghani berjanji memerangi korupsi yang merajalela, membenahi ekonomi yang rusak, dan menjadikan Afghanistan penghubung perdagangan regional antara Asia Tengah dan Selatan. Namun, dia tak mampu memenuhi sebagian besar janjinya.
Jalan Panjang
Ghani, ahli antropologi didikan AS berusia 72 tahun, menempuh program doktor di Universitas Columbia, New York. Dia pernah dinobatkan sebagai salah satu dari “100 Pemikir Global Teratas di Dunia” oleh majalah Foreign Policy pada 2010.
Jalan menuju kursi presiden diperjuangkannya dengan berat. Dia menghabiskan hampir seperempat abad hidupnya di luar negeri selama beberapa dekade kekuasaan Soviet yang bergejolak, perang saudara, dan tahun-tahun Taliban berkuasa.
Selama periode itu dia bekerja sebagai pengajar di AS, lalu pindah ke Bank Dunia dan badan-badan PBB di Asia Timur dan Selatan.
Beberapa bulan setelah pasukan asing pimpinan AS menginvasi Afghanistan, dia mundur dari pekerjaannya dan kembali ke Kabul untuk menjadi penasihat senior Karzai yang baru ditunjuk menjadi presiden.
Dia bertugas sebagai menteri keuangan Afghanistan pada 2002, namun kemudian berselisih dengan Karzai. Pada 2004 dia ditunjuk sebagai konselor Universitas Kabul, di mana dia dipandang sebagai reformis yang efektif.
Dia juga membentuk kelompok pemikir di Washington yang bekerja membuat kebijakan untuk memberdayakan orang-orang miskin di dunia.
Pada 2009, Ghani yang berasal dari etnis mayoritas Pashtun seperti Karzai, mengikuti pemilihan presiden namun berada di urutan keempat dengan raihan hanya 4 persen suara nasional.
Dia terus bekerja di sejumlah posisi penting di negara itu, termasuk sebagai “tsar peralihan” Afghanistan dengan mengepalai badan yang mengawasi transisi keamanan dari NATO ke Afghanistan.
Saat Karzai tak lagi bisa dipilih sebagai presiden, Ghani meraih sukses dalam pencalonan dirinya yang kedua pada 2014. Dia lalu terpilih lagi pada 2019.
Hubungannya dengan Washington dan negara Barat lain tidak berjalan mudah. Dia menjadi kritikus yang vokal atas apa yang disebutnya sebagai bantuan internasional yang sia-sia di Afghanistan dan sering tidak sejalan dengan strategi Barat di negara itu, terutama terkait proses perdamaian yang lambat dan menyakitkan dengan Taliban.
Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Ghani mengatakan: “Masa depan kami ditentukan oleh orang-orang Afghanistan, bukan oleh seseorang yang duduk di belakang meja sambil bermimpi”.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman