PEKANBARU (RIAUPOS.CO) – Sidang kasus dugaan pemotongan anggaran di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti yang dilakukan Bupati nonaktif Muhammad Adil kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekabaru, Selasa (27/9). Beberapa saksi yang dihadirkan dalam sidang ini menyebutkan terpaksa memenuhi permintaan Adil karena takut dimutasi atau dipindahkan ke daerah pelosok.
Saksi pertama yang mengaku adanya ancaman dari M Adil itu adalah Piskot Ginting , saat itu menjabat Kepala Dinas Perhubungan sekaligus Plt Kepala Satpol PP. Hal itu diakuinya setelah dicecar Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Budiman Abdul Karib dan kawan-kawan.
Awalnya JPU KPK bertanya mengapa mau menyetorkan uang untuk bupati. ‘’Semua oke, saya oke,’’ ucap Piskot yang menyebutkan semua OPD juga melakukan hal itu dan tidak ada yang keberatan sehingga dirinya mengikuti saja.
Selain itu, kata Piskot mengaku ada juga menyerahkan uang yang disisihkan dari kegiatan perjalanan dinas. Namun, yang satu ini diikatakan Piskot hitungan uang pribadi kepala OPD sebagai bentuk loyalitas kepada pimpinan.
Namun pada akhir keterangan, dirinya membuka tabir intimitasi mutasi ke wilayah pelosok tersebut. ‘’Beliau juga sering mengatakan, kalau tidak bisa bekerja sama ya sudah. Pasti (dipindahkan) Tasik Putri Puyu. Itu sebuah pulau yang jauh dari Meranti (tiga pulau besar: Merbau, Rangsang, Tebingtinggi),’’ kata Piskot.
Soal ancaman itu juga diakui Eko Setiawan yang saat itu menjabat Plt Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kepulauan Meranti. Sama seperti Piskot, awalnya Eko tidak begitu keberatan soal setoran dalam bersaksi. Cerita itu mulai terkuak ketika dirinya mengingatkan ketika BPBD Kepulauan Meranti dalam keadaan sulit.
Tepatnya saat Meranti mengalami kebanjiran di mana-mana pada 2022. Walaupun sedang perlu anggaran karena menghadapi banjir, namun Eko mengaku saat GU cair dirinya ditanya oleh mantan Plt Kepala BPKAD Fitria Nengsih apakah pemotongan 10 persen sudah disetorkan ke Adil. ‘’November (2022) itu musim banjir. Saya tekor kali. Tapi tetap serahkan Rp35 juta. Uang itu diserahkan oleh Bendahara BPBD, Syafrizal Johan ke Dahlia (staf Nengsih, red),’’ kata Eko.
Di tahun 2023, menurut Eko BPBD mendapat anggaran Rp250 juta. Uang itu pun diminta dipotong 10 persen. Selain itu juga diminta uang Rp25 juta untuk beli minuman kaleng dan sapi kurban. ‘’Itu (setoran, red) dijemput oleh ajudan bupati (Fadil Maulana). Saya antar ke bendahara Syafrizal Johan,’’ ucap Eko.
Eko mengaku tidak tahu untuk apa uang tersebut oleh M Adil. Namun ketika ditanya JPU KPK mengapa tetap mau menyetorkan? Salah satu pertimbangan Eko karena takut dipindahkan ke daerah terpencil. ‘’Kalau berani menolak, konsekuensinya dipindahkan,’’ tutur Eko menjawab dengan gamblang.
Atas ketakutan para saksi itu, Ketua Majelis Hakim M Arif Nuryanta mengingatkan para saksi kalau uang yang diserahkan adalah uang negara. Uang itu harus digunakan sesuai peruntukan. ‘’Apa memang takut sampai mau memotong UP (uang persediaan) dan GU (ganti uang) 10 persen?,’’ selidik majelis hakim kepada para saksi. ‘’Kalau saya salah satunya karena (takut dipindahkan) itu Yang Mulia,” ucap Piskot.
Sementara Eko, mengaku sebenarnya tidak khawatir. Namun dirinya memikirkan anak dan istri kalau terlalu jauh dari pulau utama Meranti. ‘’Kalau pribadi tak takut Pak. Cuma ingat anak dan istri yang jauh,’’ tutur Eko.
Sementara itu, Kepala Disdukcapil Agustia Widodo yang ikut dihadirkan sebagai saksi juga menjawab pertanyaan hakim itu. Dirinya mengaku sedang sakit hingga khawatir kalau benar-benarkan dipindahkan jauh-jauh oleh terdakwa M Adil. ‘’Saya juga tak takut Pak. Cuma kondisi sakit,’’ kata Agustia Widodo.
Hakim pun mengingatkan agar para saksi tidak takut. Mereka seharusnya, kata hakim, tidak gentar kalau diminta melakukan hal yang melanggar hukum. ‘’Tak usah takut, tak usah gentar. Kalian ujung tombak, harus berani dipindahkan ke pulau terluar pun di Indonesia. Biar uang negara akan pas di pos masing-masing,” pesan Hakim.
Total pada sidang tersebut, JPU KPK menghadirkan 12 saksi. Selain Piskot, Eko dan Agustia, juga dihadirkan Plt Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kepulauan Meranti Fajar Triasmoko, Kadis Kesehatan M Fahri, dan Bendahara BPKAD Dinas PUPR Adi Putra.
Turut dihadirkan, Bendahara Pengeluaran Satpol PP Dharma Saputra, Bendahara Gaji Satpol PP T Reni Yuliati, Bendahara Pengeluaran Dishub Andre Putra Zenma, Kasubag Keuangan dan Pengelolaan Aset Diskes Yuli Imerna, Bendahara Pengeluaran BPBD Syafrizal Johan, dan Bendahara Pengeluaran Disdukcapil Titin Putrika.
Dalam sidang ini, Plt Kadis PUPR Kepulauan Meranti Fajar juga menerangkan, tidak hanya uang pemotongan UP dan GU yang diminta terdakwa, tapi juga setoran uang di luar itu. JPU KPK Budiman Abdul Karib mempertanyakan permintaan Bupati Adil yang lain. ‘’Selain pemotongan UP dan GU, apa ada permintaan bupati yang lain,’’ tanya Budiman.
Fajar menjawab ada dan menceritakannya. Ketika itu, kata Fajar, Adil meminta dirinya membantu menyiapkan minuman kaleng untuk Hari Raya Idulfitri. Bantuan itu bisa berbentuk uang atau barang. ‘’Kalau tidak minuman kaleng, boleh juga berbentuk uang. Kalau uang sebesar Rp25 juta,’’ kata Fajar.
‘’Terus saudara saksi berikan permintaan Bupati itu?,’’ JPU bertanya lagi. ‘’Tidak terealisasi. Karena Pak Bupati keburu ditangkap KPK,’’ jelas Fajar.
Permintaan lainnya, yang juga tidak sempat terealisasi adalah uang sumbangan untuk peserta kurban Iduladha. Fajar mengaku dimintai uang Rp40 juta oleh terdakwa. ‘’Namun itu juga tidak terealisasi Pak. Karena di April itu, Pak Bupati sudah ditangkap,’’ ujar Fajar.
Dalam perkara ini JPU KPK mendakwa M Adil dengan tiga dakwaan tipikor. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama Plt Kepala BPKAD Kepulauan Meanti selaku dan auditor BPK perwakilan Riau M Fahmi Aressa.
Dakwaan pertama tetang pemotongan sebesar 10 persen setiap pembayaran UP dan GU pada Kepala OPD di lingkungan Pemkab Kepulauan Meranti. Total yang diterima terdakwa sebesar Rp17,28 miliar.
Dakwaan kedua, M Adil menerima suap dari Fitria Nengsih selaku kepala perwakilan PT Tanur Muthmainnah Tour (TMT) di Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp750 juta. PT TMT merupakan perusahaan travel haji dan umrah yang memberangkatkan jemaah umrah program Pemkab Kepulauan Meranti.
Ketiga, M Adil didakwa bersama Fitria Nengsih pada Januari hingga April 2023, memberikan suap kepada auditor BPK perwakilan Riau, M Fahmi Aressa sebesar Rp1 miliar. Uang itu untuk pengondisian penilaian laporan keuangan Pemkab Kepulauan Meranti agar mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).(end)