KPK Sorot Korupsi Perizinan SDA di Riau

Hukum | Kamis, 24 Januari 2019 - 09:01 WIB

KPK Sorot Korupsi Perizinan SDA di Riau
FOTO BERSAMA: Komisioner KPK Alexander Marwata (tengah) foto bersama dengan Wakil Direktur Utama Riau Pos H Zulmansyah Sekedang (dua kanan), GM Bisnis Ahmad Dardiri (kanan), Pemimpin Redaksi Muhammad Hapiz (tiga kiri), Yoserizal (dua kiri) dan Kunni Masrohanti (kiri) saat kunjungan ke redaksi Riau Pos di Graha Pena Riau, Rabu (23/1/2019). (MHD AKHWAN/RIAUPOS)

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti perizinan di sektor sumber daya alam (SDA) di Riau. Sebab, Riau dianggap memiliki potensi yang besar untuk melakukan praktik korupsi. Terkhusus suap perizinan sektor SDA.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata saat berkunjung ke redaksi Riau Pos di Graha Pena Riau, Rabu (23/1). Alex disambut Wakil Direktur Utama Riau Pos, H Zulmansyah Sekedang, GM Riau Pos, HM Nazir Fahmi dan Ahmad Dardiri, serta Pemimpin Redaksi Muhammad Hapiz.

Baca Juga :Menurut Mantan Penyidik KPK Inilah Empat Kriteria Pengganti Firli Bahuri

“Riau adalah provinsi dengan tingkat korupsi perizinan yang tinggi. Itu terbukti dengan ditangkapnya dua mantan Gubernur Riau, yakni Rusli Zainal dan Annas Maamun oleh KPK terkait dengan korupsi di bidang pemanfaatan hutan,” kata Alexander.

Menurut dia, Bumi Lancang Kuning adalah daerah yang kaya dengan sumber daya alamnya. Seperti pemanfaatan hutan untuk menjadi perkebunan, maupun pertambangan. Dalam pemberian izin, rentan terjadinya korupsi.

“Bahkan potensi suap perizinan di sektor kehutanan mencapai Rp22 miliar per tahun,” ujar Alexander.

Dijelaskannya, korupsi di sektor perizinan SDA ini, bukan hanya dilakukan oleh perorangan. Melainkan juga dilakukan oleh korporasi. Hanya saja, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang berlaku, belum bisa maksimal dalam menjatuhkan pidana kepada korporasi tersebut. Oleh karena itu, kata Alexander, diperlukan penguatan penegakan hukum untuk menekan korupsi di sektor SDA ini. Salah satu penguatan yang dilakukan, yakni dengan merevisi Undang-Undang Tipikor. Penguatan mesti dilakukan dengan perubahan dan reformulasi UU Tipikor.

“Saat ini, kalau koorporasi, sanksi pidana pokoknya itu denda. Harusnya, ketika membuka hutan dengan cara menyuap tadi, dia harus mengganti kerugian lingkungan itu. Dia harus memulihkan kawasan yang sudah rusak,” sebut Alexander yang mengaku, jika praktik ini tidak ditindak dengan tegas, maka hutan di Riau semakin rusak.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook