JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Langkah tiga pimpinan KPK mengajukan judicial review (JR) Undang-Undang 19/2019 tentang KPK sudah tepat. Selain peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), JR dinilai salah satu opsi hukum yang bisa diambil.
Hal itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD. Dalam berbagai kesempatan, Mahfud memang sempat menyampaikan tiga opsi yang bisa dipakai untuk menggugurkan UU KPK. Selain perppu dan JR, masih ada legislative review.
Sementara ini, Presiden Joko Widodo belum mau mengeluarkan perppu. Alasannya, sudah ada yang mengajukan JR di MK. Sedangkan legislative review butuh kemauan dari DPR. Karena itu, JR dinilai sebagai salah satu jalan yang harus ditempuh.
Melalui JR, Mahfud menjelaskan, semua akan diuji hakim MK. ”Kan di situ akan bertemu perbedaan pendapat antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lain,” terangnya kemarin (21/11). ”Nanti biar hakim MK yang memutuskan,” imbuhnya.
Berkaitan dengan gelombang pengajuan JR UU KPK, istana tidak mempersoalkan. Mereka juga menanggapi santai banyaknya JR UU KPK. Termasuk JR oleh tiga pimpinan KPK. Menurut Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, Indonesia merupakan negara hukum. Sistem hukum Indonesia sudah mengatur hak JR terhadap sebuah UU. Siapa pun boleh melakukannya. ”Kita hormati sepenuhnya apa yang dilakukan oleh siapa pun, JR terhadap UU KPK,” ujarnya di kantor presiden, Jakarta.
Pramono meminta semua pihak menghormati proses JR yang berjalan di MK. Saat ini pemerintah pun menunggu putusan MK dan siap melaksanakan apa pun hasilnya. ”Apa pun yang sudah diputuskan oleh MK, siapa pun harus hormati dan menjalankan itu,” ujarnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyampaikan, pengajuan JR UU KPK dilakukan demi menyelamatkan KPK. Lewat JR, lanjut dia, masyarakat bersama para tokoh berharap UU KPK dibatalkan MK. ”Harapannya Mahkamah (Konstitusi) memutuskan bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU KPK bertentangan dengan UUD 1945,” ungkapnya. Dengan begitu, UU tersebut harus dibatalkan. ”Dan dikembalikan ke UU KPK yang lama,” tambahnya.
Berdasar catatan ICW, tidak kurang ada 15 poin krusial menyangkut materiil UU KPK. Kurnia menjelaskan, catatan itu termasuk soal kehadiran dewan pengawas (dewas), penerbitan SP3, dan status KPK yang tidak lagi independen. Semua itu berpotensi melahirkan masalah serius. ”KPK hanya akan fokus pada pencegahan. Sebab, penindakan akan kembali pada jalur lambat,” jelasnya.
Tak hanya bermasalah secara materiil, UU KPK disebut Kurnia cacat formil. Sebab, pembentukannya dinilai tidak sesuai aturan.
Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com