JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Saksi ahli dari kalangan akademisi dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sulit ditemukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Ketua KPK, Agus Rahardjo, karena itu pihaknya mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) untuk turut membantu menemukan solusi.
Meminta seorang akademisi untuk menjadi saksi ahli dalam sebuah perkara korupsi, imbuhnya, cukup sulit. Sebab, terkadang pihak lawan dapat membayar lebih ketimbang pihak KPK.
"Mungkin perlu dipikirkan membuat aturan itu. Kami mencari saksi ahli di perguruan tinggi yang honornya hanya Rp5 juta sampai Rp6 juta, susahnya bukan main," jelasnya di Jakarta, Jumat (20/4/2018).
"Sementara lawan kami yang berniat menang di persidangan bisa membayar Rp100 juta atau mungkin lebih dari itu," imbuhnya.
Agus pun dalam hal ini bertanya-tanya tentang peraturan dari Kemenristekdikti. Pasalnya, banyak sekali dosen-dosen yang ada di pengadilan sifatnya melawan KPK.
"Mencari saksi ahli yang berpihak pada penuntutan korupsi itu sulit. Kebanyakan dosen-dosen perguruan tinggi negeri (PTN) di pengadilan melawan kami," cetusnya.
"Pegawainya pemerintah kok malah melawan pemberantasan korupsi? Apakah nggak bisa dikeluarkan (aturan), misalnya menjadi pegawai PTN itu ya harus berpihak kepada KPK. Jangan berpihak di sana (koruptor)," sebutnya.
Menyikapi itu, dia pun berharap Kemenristekdikti bisa melarang tenaga pengajar di PTN menjadi saksi ahli untuk terdakwa korupsi. Alasannya, dosen-dosen yang mendapatkan gaji dari negara itu sudah seharusnya mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
"Bagaimana mungkin mereka dibayar oleh negara kok menjadi bagian untuk melawan negara," tuntasnya. (ce1)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama