JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Keteladanan Abdurrahman M Bakri, penghulu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah yang tahun lalu paling rutin melaporkan gratifikasi ke KPK sedikit ternodai. Itu setelah tim KPK mengidentifikasi adanya uang tunai total Rp607,110 juta yang tersimpan di laci meja kerja Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, atasan tertinggi Bakri.
Uang ratusan juta itu merupakan hasil penggeledahan KPK di kantor Lukman di kompleks Kementerian Agama (Kemenag) pada Senin (18/3). Perinciannya, Rp180 juta dalam pecahan rupiah dan 30 ribu dolar Amerika Serikat (AS) (atau sekitar Rp427,110 juta). Temuan itu baru selesai dihitung tim KPK, Selasa (19/3).
”Penyidik mengambil uang itu untuk dilihat. Apakah ada relevansi atau tidak kita tunggu ya,” ungkap Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Temuan uang tunai bernilai ratusan juta di meja kerja menteri memang patut dipertanyakan. Hal itu memunculkan beragam spekulasi terkait asal muasal uang dan kegunaannya. Pun, menteri mestinya melaporkan penerimaan sekecil apapun ke KPK bila memang sumbernya tidak jelas. Seperti dilakukan Bakri yang 59 kali melaporkan penerimaan uang “ceperan” Rp25 ribu sampai Rp200 ribu ke KPK.
Sejauh ini KPK belum berhasil mengidentifikasi darimana asal uang di laci menag. Komisi antirasuah berencana memanggil Menag untuk mengklarifikasi uang “misterius” itu. Dari klarifikasi itu diharapkan diketahui darimana sumber duit. Apakah dari gratifikasi atau dari sumber lain? ”Tentu saja uang tersebut akan diklarifikasi (dari mana sumber dan peruntukannya, red),” jelas Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Febri menjelaskan identifikasi bahwa uang di laci Menag itu berkaitan dengan perkara suap jual beli jabatan masih terlalu dini dilakukan. Namun, duit itu tetap akan dipelajari apakah berhubungan dengan mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romy dan dua pejabat Kemenag , Haris Hasanuddin (Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jawa Timur) dan M Muafaq Wirahadi (Kepala Kantor Kemenag Gresik).
Bila uang itu berkaitan dengan para tersangka, tidak tertutup kemungkinan akan ada pihak internal Kemenag yang ditetapkan sebagai tersangka selanjutnya, karena dinilai turut memuluskan jual beli jabatan itu.
”Penyelidikan (pihak lain, red) masih berjalan. Nanti kalau ditemukan fakta baru dan bukti lain akan kami cermati,” paparnya.
Febri mengakui, kasus suap jual beli jabatan itu tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Romy yang notabene menjabat sebagai anggota DPR Komisi XI. Praktik itu hampir pasti melibatkan internal kemenag. Sebab, keputusan final dalam pengisian jabatan hanya bisa dilakukan pihak Kemenag, bukan Romy.
”Kami sudah mengidentifikasi dan sudah punya bukti pihak-pihak yang diduga bekerja bersama-sama terkait perkara ini,” terangnya.
Peluang untuk menetapkan tersangka baru dalam kasus itu sangat terbuka. Terlebih, selain menerapkan pasal 12 huruf a dan b UU Pemberantasan Tipikor, KPK juga menyelipkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam mengusut kasus tersebut. Pasal 55 itu memungkinkan KPK untuk menjerat pelaku lain yang disangka bersama-sama Romy menerima suap dari Haris dan Muafaq.
Di sisi lain, KPK mengingatkan para pihak-pihak terkait untuk bersikap kooperatif dalam kasus ini. Imbauan itu muncul seiring adanya upaya oknum yang mencoba mempengaruhi saksi-saksi yang mengetahui detail perkara ini.
”Kalau ada upaya mempengaruhi saksi, apalagi menghilangkan barang bukti itu beresiko pidana di pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor,” imbuh mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
KPK juga mendapat tambahan barang bukti yang disita dari rumah pribadi Romy di kawasan Condet, Jakarta Timur. Yakni, berupa laptop. Barang elektronik itu nantinya akan dianalisis lebih lanjut. ”Kami akan lakukan analisis lebih lanjut karena kami duga ada bukti relevan terkait barang-barang yang disita tersebut,” imbuhnya.
Selain itu, KPK melakukan penggeledahan di Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Timur di Surabaya. Hingga berita ini ditulis, penggeledahan masih berlangsung. “Dari lokasi tersebut diamankan sejumlah dokumen terkait seleksi dan pengisian jabatan,” imbuh Febri.
Jawa Pos (JPG) sudah berusaha mengklarifikasi soal temuan uang tersebut langsung ke Menag Lukman Hakim Saifuddin. Namun dia belum bisa memberikan jawaban. Baik itu saat dihubungi langsung melalu ponselnya maupun akun Twitter-nya. Seperti diketahui Lukman merupakan salah satu menteri yang cukup aktif di Twitter.
Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Mastuki juga enggan mengomentari soal temuan uang di ruangan bosnya itu. Dia mengatakan, Menag Lukman pasti akan mengklarifikasi uang tersebut secara langsung ke KPK.
’’Pak Menteri Agama sudah meminta informasi kapan dijadwal, kapan dipanggil untuk memberi penjelasan. Sehingga kita tunggu saja,’’ tuturnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla ikut mengomentari kasus yang terjadi di Kemenag tersebut. ’’Pertama, tentu kita harus prihatin atas kasus ini,’’ katanya di kantor Wapres kemarin.
Namun JK berharap Menag Lukman tidak terlibat langsung dalam pusaran kasus jual beli jabatan itu.
Terkait ditemukannya uang di kantor Lukman, JK menganggap itu hal lazim. Dia mengatakan, di mana-mana pejabat selalu menyiapkan uang tunai di kantornya. Apalagi pejabat setingkat menteri. Kemudian menteri juga memiliki alokasi dana operasional menteri (DOM) yang wujudnya tunai.
’’Kalau kantor saya digeledah, pasti ada uangnya,’’ tuturnya lantas tersenyum.
Secara pribadi, JK menyayangkan adanya kasus itu. Jika sampai nanti Lukman masuk dalam pusaran kasus, berarti sudah ada tiga Menag yang terlibat praktek korupsi. Sebelumnya ada Said Agil Husin al Munawar. Lalu kolega Lukman dan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali.
Terkait intervensi partai di lingkungan Kemenag, JK menyebutkan bahwa dalam sepuluh Menag terakhir, hanya dua terakhir yang berasal dari unsur partai politik. Yakni Suryadharma Ali dan Lukman Hakim Saifuddin.
Untuk pengisian jabatan sendiri, JK menuturkan pengisian pejabat eselon 1 sulit untuk dilakukan praktik jual beli. Sebab proses akhirnya ada di tim penilai akhir (TPA) yang diketuai langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden. Nah yang jadi persoalan adalah kursi pejabat eselon II ke bawah yang itu ada di internal kementerian. ’’(Kepala, red) Kanwil (Kemenag, red) itu di eselon dua,’’ pungkasnya.(tyo/wan)