“Niko bahkan direkayasa sebagai saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam persidangan,” terangnya.
Akan tetapi, yang cukup aneh ialah ICW tidak pernah menghadiri langsung seluruh proses persidangan maupun kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Pansus Angket. Padahal, seluruh proses yang dikerjakan Pansus Angket KPK digelar secara terbuka untuk umum dan diliput oleh pers secara luas baik di persidangan maupun kunjungan lapangan.
“Jadi, informasi dan data yang dianalisis ICW sebagai penilaian terhadap temuan Pansus Angket KPK, ibarat melihat emas di puncak Monas dengan menggunakan sedotan pipa kecil," jelasnya.
Dia kemudian justru mempertanyakan ICW yang tidak kritis terhadap praktik korupsi dalam Pansus Angket Century dan Pansus Angket Pelindo II.
“Kemudian apakah pernah ICW mengkritisi ataupun mempertanyakan KPK memberikan status justice collaborator pada Nazaruddin, sebagai narapidana yang mendalangi 162 kasus korupsi yang justru dijadikan narasumber utama oleh KPK," sebutnya.
Masinton menambahkan, bahkan keberadaan aset hasil korupsi Nazaruddin yang kata KPK sudah disita sejumlah Rp500 miliar sebagian tidak diketahui keberadaannya.
“Mana suaranya?” tanya dia.
Anak buah Megawati itu melihat ICW seperti menjual agenda pemberantasan korupsi demi mendapatkan bantuan pembiayaan dari lembaga-lembaga donor dari luar negeri. Oleh sebab itu, wajib hukumnya bagi ICW membela buta komisi antikorupsi karena mereka menjadikan KPK sebagai merk dagang yang laku dijual ke lembaga donor luar negeri untuk kepentingan pembiayaan lembaga mereka.
"Data yang kami terima, total penerimaan dana hibah ICW dari luar negeri sejak 2005-2014 sedikitnya sejumlah Rp68 miliar," tandasnya. (dms)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama