JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Calon pimpinan (Capim) KPK dari Polri Firli Bahuri angkat suara soal dugaan pelanggaran etik yang dituduhkan pada dirinya. Mantan Deputi Penindakan Lembaga Antirasuah itu dianggap melakukan pertemuan dengan Gubernur NTB Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB) yang saat itu sedang bermasalah.
Firli mengaku, beberapa waktu lalu dirinya sengaja memilih untuk diam dan tak menanggapi isu itu. Karena belum saatnya untuk berbicara menjelaskan dugaan pelanggaran etik tersebut.
“Saya memilih diam, tapi itu bukan berarti salah atau kalah, tetapi sebelum saya berdamai dengan pihak lain tentu saja harus berdamai dengan diri saya sendiri,” ujar Firli dalam fit and proper test di Komisi III DPR, Jakarta, Kamis (12/9) malam.
Firli menjelaskan, pada tanggal 13 Mei 2018 memang dirinya bertemu dengan TGB. Pertemuan tersebut tidak sengaja dan terjadi di lapangan tenis terbuka. Pertemuan itu terjadi saat dirinya diundang ke acara TNI dalam rangka pertandingan tenis.
“Setelah saya main dua set jam tahu-tahu TGB dateng langsung ke lapangan, Danrem langsung bilang foto-foto dulu Bang, foto lah kita dan foto itu diupload di media sosial, jadi bukan KPK yang memfoto itu,” katanya.
Oleh sebab itu, Firli mempetanyakan apakah salah dirinya melakukan pertemuan dengan TGB di lapangan tenis. Apalagi pertemuan tersebut tidak disenggaja dan TGB juga tidak menjadi tersangka dalam satu kasus divestasi PT Newmont.
“Saat saya bertemu, posisi TGB ini bukan tersangka dan sampai hari ini belum pernah jadi tersangka,” ungkapnya.
Firli juga menuturkan, saat pertemuan tak sengaja itu, TGB pasti membawa anaknya yang berumur tiga tahun bernama Aza. Ia mengaku sangat dekat dengan anak balita TGB.
“Aza ini sejak saya menjadi Kapolda NTB kalau ketemu saya pasti minta gendong, apakah salah saya memberikan perhatian kepada anak kecil yang baru tiga tahun?” ujarnya.
“Mohon maaf saya minta seluruh rakyat Indonesia menilai, siapa sesungguhnya Firli ini, apakah begitu buruknya di mata dunia di mata Allah,” imbuhnya.
Lebih lanjut, dirinya juga mengungkapkan bahwa pernah juga bertemu secara tidak sengaja dengan TGB lagi. Kala itu bertemu di Pondok Pesantren Al Mansuriah yang punya adalah Tuan Guru Taqiyuddin almarhum.
“Karena itulah silaturahmi. Saya meyakini, kalau mau masuk surga maka harus dekat dengan Wali Allah, harus dekat dengan orang-orang titisan nabi dan rasul. Itu yang saya pegang,” ungkapnya.
Oleh sebab itu dua kali bertemu dengan TGB dirinya berani bersumpah tidak sama sekali membicarakan satu perkara atau kasus yang sedang ditangani oleh KPK. Termasuk kasus divestasi PT Newmont.
“Saya mohon maaf saya tidak ingin curhat, tapi harus katakan apa sesungguhnya, dan saya bertemu dengan TGB tidak ada pembicaraan perkara apapun,” pungkasnya.
Sebelumnya, Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri (FB) resmi dinyatakan melanggar kode etik berat saat menjabat sebagai Deputi Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah menduga, Firli melakukan sejumlah pertemuan saat bertugas di KPK.
“Hasil pemeriksaan Direktorat Pengawas Internal (PI) adalah terdapat dugaan pelanggaran berat. Diduga, Saudara FB (Firli Bahuri) melakukan sejumlah pertemuan,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (11/9).
Penasihat KPK Tsani Annafari menambahkan, Firli yang kini bertugas sebagai Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) itu diduga melakukan pertemuan dengan mantan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi (MZM) alias Tuan Guru Bajang (TGB) dan sejumlah pertemuan lainnya.
“Ada sejumlah penemuan FB (Firli Bahuri) sebagai Deputi Penindakan KPK melakukan dua kali pertemuan dengan Gubernur NTB ZM (Zainul Majdi alias TGB),” terang Tsani.
Tsani merincikan, dua kali pertemuan yang dilakukan antara Firli Bahuri dengan TGB Zainul Majdi itu pada 2 Mei 2018 saat KPK tengah menyelidiki kasus kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont 2009-2016.
Pertama, pada tanggal 12 Mei 2018 dalam sebuah acara Harlah GP Anshor ke-84 saat Launching penanaman 1000 hektar jagung di Bonder Lombok Tengah.
“FB berangkat ke lokasi hari Sabtu tidak dengan surat tugas. Dalam acara tersebut TGB dan FB (Firli Bahuri) duduk pada barisan depan dan cukup akrab. Dalam acara tersebut, Firli juga disebutkan namanya oleh panitia sebagai Deputi Penindakan KPK dan memberikan sambutan,” ucap Tsani.
Kemudian, pada 13 Mei 2018 dalam acara Farewell and Wellcome Games Tennis Darem 162/WB di Lapangan Tennis Wira Bhakti Firli kembali melakukan pertemu dengan TGB. Hasil pemeriksaan menyatakan, Firli telah melanggar kode etik. Ini karena pertemuan tersebut dilakukan tanpa izin.
“Dari hasil pemeriksaan Pengawas Internal (PI) dalam foto nampak keakraban antara FB dan TGB menggendong anak dari TGB,” tegas Tsani.
Lebih lanjut, pertemuan selanjutnya yakni terjadi pada 08 Agustus 2018. Saat itu penyidik KPK memanggil saudara BA, Pejabat BPK yang akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka YP, dalam kasus suap terkait dana perimbangan daerah. Namun, karena tidak dapat hadir, maka tidak dapat hadir, maka pemeriksaan dijadwalkan ulang.
“F ditelfon oleh NW yang menginfokan bahwa BA akan ke KPK. F menjemput langsung ke Lobby yang didampingi Kabag Pengamanan. Selanjutnya masuk melalui lift khusus dan masuk ke ruangannya,” Papar Tsani.
Selanjutnya menurut Tsani, F memanggil penyidik yang terkait kasus yang diduga melibatkan BA.” Pertemuan antara BA dan sampai dengan keluar dari ruangannya sebagaiman video pada kisaran 30 menit. BA diantarkan penyidik ke lantai 2 untuk dilakukan pemeriksaan,” jelasnya.
Pertemuan yang tak kalah pentingnya yakni pada 1 November 2018 silam. Dalam pertemuan yang dilakukan pada malam hari di sebuah hotel di Jakarta tersebut, KPK mengendus Firli bertemu dengan seorang pimpinan Partai Politik.
Atas berbagai pertemuan tersebut, pada 23 Januari 2019 Deputi PIPM menyampaikan laporan ke pimpinan KPK. Selanjutnya pada 7 Mei 2019 Pimpinan KPK meminta pertimbangan Dewan Pertimbangan Pegawai. Lebih lanjut, pada 17 Mei 2019 rapat DPP diselenggarakan.
”Deputi PIPM memaparkan laporan hasil pemeriksaan pada Dewan Pertimbangan Pegawai,” urai Tsani.
Namun, belum sempat putusan diumumkan, pada 11 Juni 2019 Polri mengirimkan surat penarikan Firli, dengan dalih dibutuhkan dan akan mendapat tugas baru di korps bhayangkara. “Dikarenakan ada kebutuhan penugasan dan dalam rangka menjaga hubungan baik antar institusi Polri dan KPK, maka dilakukan koordinasi lebih lanjut,” tukas Tsani.
Sementara itu, dalam rangka memberi masukan kepada Komisi III DPR yang tengah melakukan Fit and Propertest terhadap 10 calon pimpinan lembaga antirasuuah, pimpinan KPK telah bersurat kepada DPR sebagai tindak lanjut dari dugaan pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh Firli Bahuri tersebut.
“Hari ini kami sudah mengirim surat resmi ke DPR khususnya Komisi III terkait rekam jejak Capim KPK,” jelas Saut.
Terpisah, Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menduga ada yang tidak beres dengan mekanisme kepemimpinan di internal KPK Hal itu dibuktikan dari adanya tekanan dan intervensi yang dilakukan oleh Wadah Pegawai (WP) KPK dan ketidakharmonisan antarpimpinan KPK.
Itu terindikasi dari pernyataan Capim KPK incumbent Alexander Marwata yang mengaku, konferensi pers yang dilakukan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang terkait pelanggaran etik Capim Firli Bahuri saat menjabat sebagai Deputi Penindalan KPK itu dilakukan tanpa sepengetahuannya.
Kemudian, pengakuan Alex itu langsung dibantah dengan konferensi pers Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengaku keputusan konferensi pers kemarin atas persetujuan mayoritas pimpinan.
“Beliau (Alexander Marwata) menyatakan 3 pimpinan tidak mengetahui dan belum pernah ada proses putusan secara kelembagaan (soal konpers pelanggaran etik Firli). Itu kemudian menampakkan bahwa lembaga itu secara eksklusif di monopoli sama kepentingan yang namanya Wadah Politik KPK,” kata Masinton di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9).
Menurut Masinton, desakan dan tekanan yang dilakukan oleh Wadah Pegawai KPK terhadap mekanisme kerja pimpinan sudah di luar batas, termasuk mempengaruhi soal keputusan konferensi pers pelanggaran etik Firli. Menurut Masinton, saat ini WP KPK bukan lagi wadah pegawai, melainkan wadah politik.
“Kalau kemarin Wadah Pegawai namanya, sekarang Wadah Politik. Ini yang menjadi kelompok penekan, dan mereka menekan pimpinan,” paparnya.
Maka dari itu, Masinton meminta ke depan agar WP KPK diisi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga mereka tidak dapat bergerak didasarkan kepentingan politik.
“WP harus diisi oleh ASN agar tidak berpolitik. Karena itu memang sudah saatnya dilakukan Revisi Undang-Undang KPK,” pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwir