JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Terkait kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilia telah beropini.
Tudingan itu disampaikan tim pengacara terdakwa Syafruddin Arsyad Temanggung (SAT), Ahmad Yani. Dia menyebut, pernyataan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan juru bicara KPK Febri Diansyah yang menyimpulkan dakwaan terhadap kliennya tidak lazim.
"Mereka hadir di persidangan juga tidak. Bagaimana bisa menyimpulkan? Itu namanya dia sudah bermain opini. Institusi penegak hukum tidak boleh bermain opini, dia harus berdasarkan fakta-fakta," ucapnya di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat, Senin (9/7/2018) kemarin.
Karena itu, dia memandang tidak sepantasnya pimpinan lembaga penegak hukum seperti KPK berbicara hal yang belum terbukti dalam fakta persidangan. Di antara fakta baru yang terkuak dalam sidang kemarin adalah kliennya ternyata tidak terlibat dengan penanganan penyelesaian BLBI.
Adapun pemberian SKL semata-mata mengikuti kebijakan yang telah dibuat oleh pejabat dari dua pemerintahan sebelumnya, yakni pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan Abdurrahman Wahid.
BPPN kala itu diketuai oleh Glenn Yusuf, yang memberikan
Release and Discharge (R&D) kepada obligor yang telah memenuhi kewajibannya sesuai MSAA.
"SAT menjadi Ketua BPPN pada April 2002. Maka dia bukanlah pejabat yang berwenang saat itu, melainkan Glenn Yusuf. Kalau masalah ini yang dijadikan pangkal tolak dari peradilan perkara SAT adalah tidak tepat atau salah alamat," tuturnya.
"Karena penyelesaian melalui MSAA dan penegasannya pada R&D menyatakan jikalau ada masalah dalam penyelesaian BLBI ini harus diputuskan melalui pengadilan perdata, bahkan juga tidak akan melakukan tuntutan hukum apapun," terangnya.
Diketahui, Syafruddin Arsyad Temenggung yang didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim diduga melakukan korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.
BDNI dalam perkara itu merupakan salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. Berdasarkan perhitungan BPPN, BDNI per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun.
Sementara, aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun, termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim.
(rdw)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama