JAKARTA RIAUPOS.CO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil sebagai tersangka. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut, Muhammad Adil merupakan kepala daerah ke-10 di Provinsi Riau yang menyandang status tersangka KPK.
"Penetapan tersangka dan ditahannya Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil oleh KPK menambah rentetan panjang praktik korupsi kepala daerah di Provinsi Riau," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Ahad (9/4/2023).
Berdasarkan catatan ICW, sejak 2007 hingga 2023, setidaknya 10 kepala daerah Riau yang terdiri dari 3 orang gubernur, 6 orang bupati, dan 1 wali kota sudah diciduk KPK karena melakukan praktik korupsi.
Adalah tiga eks gubernur, Saleh Djasit, Rusli Zainal, Annas Maamun. Kemudian Wali Kota Dumai Zulkifli AS, dan enam bupati yakni eks Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar, eks Bupati Kampar Burhanudin Husen, eks Bupati Bengkalis Herliyan Saleh, eks Bupati Rokan Hulu Suparman, Bupati Kuansing Nonaktif Andi Putra, dan terakhir Bupati Kepulauan Meranti Nonaktif M Adil.
"Setelah dijumlahkan, praktik korupsi yang dilakukan oleh 10 kepala daerah itu telah mengakibatkan kerugian negara Rp2,2 triliun dan suap/gratifikasi sebesar Rp18,5 miliar," ucap Kurnia.
Kurnia mengungkapkan, maraknya kepala daerah di Provinsi Riau yang terlibat praktik korupsi harus disikapi secara serius oleh pemangku kepentingan. Pertama, pemerintah harus memperkuat fungsi Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP).
Kedua, aparat penegak hukum, terutama KPK, harus memastikan supervisi pasca penindakan atau pengelolaan sistem pemerintahan di seluruh pemerintahan provinsi Riau berjalan transparan dan akuntabel.
Bahkan, jelang tahun politik, terutama pemilihan kepala daerah serentak pada November 2024, KPK harus benar-benar mengawasi kepala daerah petahana yang akan mencalonkan diri kembali.
Hal ini penting, tren yang berkembang petahana kerap menyalahgunakan kewenangan untuk mendanai biaya kampanye politik mendatang," ungkap Kurnia.
Sebelumnya, KPK menetapkan Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil sebagai tersangka. Hal ini setelah politikus PDI Perjuangan itu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Kamis (6/4/2023).
Selain M. Adil, KPK juga menjerat dua pihak lainnya sebagai tersangka, keduanya yakni Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti, Fitria Ningsih dan Pemeriksa Muda BPK Perwakilan Riau, M Fahmi Aressa.
"Pada kesempatan ini, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (7/4/2023) malam.
Alex menjelaskan, Muhammad Adil terjerat dalam tiga kasus dugaan korupsi. Kasus pertama, terkait pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara atau yang mewakilinya tahun 2022 sampai 2023.
Kasus kedua, dugaan korupsi penerimaan fee dari jasa travel umrah. Ketiga, kasus dugaan suap pengondisian pemeriksaan keuangan pada 2022 di Pemkab Kepulauan Meranti.
"Kegiatan tangkap tangan terhadap kepala daerah aktif ini menjadi komitmen nyata kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK. Agar menjadi pembelajaran bagi para pejabat publik lainnya untuk tidak melakukan korupsi, yang ujungnya hanya akan merugikan keuangan negara, serta mendegradasi kesejahteraan dan perekonomian rakyat," tegas Alex.
Muhammad Adil sebagai tersangka penerima suap melanggar pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Muhammad Adil juga sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara itu Fitria Ningsih sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
M Fahmi Aressa sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra