JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui adanya aturan yang melarang pimpinan KPK untuk bertemu dengan pihak-pihak yang diduga terkait dengan suatu perkara yang tengah ditangani lembaga antirasuah. Aturan larangan itu tidak hanya ditujukan pada pimpinan, tapi juga berlaku untuk pegawai KPK.
“Memang betul ada kode etik terkait dengan dilarangnya pimpinan atau pun siapapun ya penyidik dan yang kemudian berhubungan bertemu secara khusus dengan tersangka, terdakwa terpidana atau pihak pihak lain yang ada kemungkinan untuk berhubungan dengan pegawai,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/2) malam.
Namun, juru bicara berlatar belakang jaksa ini menyatakan, terdapat pengecualian dalam aturan-aturan mengenai konflik kepentingan dan kode etik.
Ali menyebut, pertemuan pimpinan KPK yang dihadiri Ketua KPK Firli Bahuri, serta Wakil Ketua KPK yakni Nurul Ghufron dan Lili Pantauli Siregar itu tidak melangggar aturan. Sebab, pertemuan dengan pimpinan DPR RI yang juga dihadiri oleh Muhaimin Iskandar dan Aziz Syamsudin digelar secara terbuka di DPR dan bukan ditempat tertutup.
“Ada pengecualian ketika kemudian ada tugas dinas yang kemudian itu diketahui oleh antar pimpinan oleh seluruh pimpinan bahkan kemudian kalau bawahan diketahui oleh atasan. Jadi memang ada pengecualian-pengecualian demikian,” ucap Ali.
Ali berdalih, pertemuan pimpinan KPK dengan dihadiri lima orang pimpinan DPR itu sudah terjadwal sejak lama. Terlebih pertemuan itu bukan dalam rangka membicarakan suatu kasus.
“Saya kira apa yang dilakukan ini bagian dari tugas dinas dan itu juga pertemuan bukan di tempat-tempat tertentu yang sesuai kode etik kan misalnya di tempat tempat orang yang menimbulkan kecurigaan dan sebagainya seperti di hotel, atau di tempat makan atau di tempat hiburan dan seterusnya,” tegas Ali.
Sebagaimana diketahui, pertemuan Firli Bahuri Cs dengan diantaranya dua Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar dan Azis Syamsuddin yang memiliki hubungan dengan perkara yang ditangani KPK menuai polemik.
Cak Imin, sapaan Muhaimin Iskandar merupakan saksi kasus dugaan suap proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pernah diperiksa terkait kasus itu pada Rabu (29/1) lalu.
Pemeriksaan ini diduga terkait dengan surat permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB, Musa Zainuddin yang menjadi terpidana kasus suap proyek Kemneterian PUPR.
Dalam surat pada akhir Juli 2019 Musa mengaku uang senilai Rp7 miliar yang diterimanya dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir tak dinikmatinya secara pribadi. Tapi dia menyebut sebanyak Rp6 miliar diserahkan kepada Sekretaris Fraksi PKB kala itu, Jazilul Fawaid di kompleks rumah dinas anggota DPR.
Setelah menyerahkan uang kepada Jazilul, Musa mengaku langsung menelepon Ketua Fraksi PKB Helmy Faishal Zaini untuk menyampaikan pesan kepada Cak Imin bahwa uang Rp6 Miliar sudah diserahkan lewat Jazilul.
Sementara itu, kasus yang diduga menyeret-nyeret Aziz Syamsuddin dilaporkan oleh Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) ke Lembaga Antikorupsi. Pelaporan ini berdasarkan pengakuan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang menjadi terpidana suap persetujuan pinjaman daerah untuk APBD Lampung Tengah tahun 2018.
Mustafa yang kini menyandang status tersangka suap dan gratifikasi terkait proyek di Pemkab Lampung Tengah mengungkapkan, Azis meminta uang fee sebesar 8-10 persen dari pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah tahun 2017. Saat itu, Aziz diduga memanfaatkan posisinya sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Sumber: Jawapos.com
Editor :Deslina