ICW Laporkan Kasus Helikopter: Firli Diduga Terima Gratifikasi Rp141 Juta

Hukum | Kamis, 03 Juni 2021 - 15:45 WIB

ICW Laporkan Kasus Helikopter: Firli Diduga Terima Gratifikasi Rp141 Juta
Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di Bareskrim Polri. (JAWAPOS.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri kepad Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri. Dia diduga telah menerima gratifikasi dalam kasus pemakaian helikopter beberapa bulan lalu.

“Kami mendapatkan informasi bahwa harga sewa yang terkait dengan penyewaan helikopter itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Firli ketika sidang etik dengan Dewas,” kata Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di Bareskrim Polri, Kamis (3/6/2021).


ICW merasa belum puas dengan putusan Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait kasus pemakaia helikopter ini. Sehingga ICW melakukan penelitian selama kurang lebih 6 bulan.

ICW berusaha menghubungi 9 perusahaan penyedia jasa layanan helikopter. ICW menanyakan harga sewa untuk helikopter sekelas dengan yang dipakai Firli. Hasilnya, ada 1 perusahaan yang memberikan rincian detail untuk penyewaan. Hasilya ICW menilai banyak perbedaan dengan yang dijelaskan Firli.

Dalam sidang kode etik Dewas, Firli mengaku menyewa helikopter dari PT Air Pasifik Utama sekitar Rp 7 juta per jam belum termasuk pajak. Sehingga untuk sewa 4 jam menghabiskan Rp 30,8 juta.

Sedangkan informasi yang diterima dari perusahaan jasa penyewa lainnya, harga sewa per jam untuk jenis helikopter yang dipakai Firli senilai USD 2.750 atau setara Rp 39,1 juta. Maka untuk sewa 4 jam senilai Rp 172,3 juta.

“Ketika kami selesihkan harga sewa barangnya ada sekitar Rp 141 juta. Sekian juta yang diduga itu merupakan dugaan penerimaan gratifikasi atau diskon yang diterima oleh Firli,” jelas Wana.

Atas dasar itu, ICW menilai Firli telah menerima gratifikasi dalam bentuk diskon 82 persen dari penyewaan helikopter. Adapun keterkaitan dengan konflik kepentingan dalam gratifikasi ini, salah satu komisaris PT Air Pasifik Utama berinisial RHS pernah dipanggil menjadi saksi dalam kasusnya perizinan Meikarta yang melibatkan Bupati Bekasi Nonaktif, Neneng Hassanah Yasin.

“Kami belum mendapatkan informasi lebih lanjut terkait motif penerimaan diskon ini. Tapi yang pasti secara background, tahun 2018 Firli menjadi Deputi Penindakan (KPK), kemudian di tahun yang sama itu kasus Meikarta sedang ditangani. Apakah ada kaitannya itu kami belum menindaki lebih lanjut,” pungkas Wana.

Firli diadukan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 Juncto Undang-Undang nomor 20 tahun 2001.
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri terbukti melanggar kode etik lantaran bergaya hidup mewah dengan menumpangi helikopter jenis limousine dalam perjalanannya menuju Baturaja, Sumatera Selatan. Firli dijatuhkan sanksi ringan atas perbuatannya.

“Menyatakan terperiksa bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku. Karena tidak mengindahkan kewajiban, menyadari sepenuhnya bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai insan komisi dan menunjukkan keteladanan dalam tindakan dan perilaku sehari-hari,” kata Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean membacakan putusan dugaan pelanggaran kode etik Firli Bahuri di Gedung ACLC KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (24/9/2021).

Firli dijatuhkan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020, sanksi teguran tertulis dua berlaku selama enam bulan. Firli dinilai, tidak bisa mengikuti program promosi, mutasi, rotasi maupun pelatihan baik yang diselenggarakan di dalam maupun luar negeri.

“Menghukum terperiksa dengan sanksi ringan berupa teguran tertulis dua, yaitu agar terperiksa tidak mengulangi lagi perbuatannya dan agar terperiksa sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan mentaati larangan dan kewajiban yang diatur dalam kode etik dan pedoman perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi,” tegas Tumpak.

Mendengar putusan tersebut, Firli hanya bisa pasrah lantaran diputus bersalah melanggar kode etik oleh Dewan Pengawas KPK. Polisi jenderal bintang tiga itu memilih menerima sanksi yang dijatuhkan pada dirinya.

“Saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mungkin tidak nyaman, dan tentu putusan saya terima dan saya pastikan saya tidak akan mengulangi itu terima kasih,” urai Firli.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook