JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Senin (2/7/2018), kembali digelar sidang kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa Syafruddin
Arsyad Temenggung (SAT).
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat. Adapun jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan enam orang saksi.
"Pada waktu saya masuk (1998) ke BPPN, BDNI sudah ditentukan sebagai bank beku operasi," katanya kepada jaksa KPK.
Dia menyebut, dirinya tidak banyak terlibat mengenai pengelolaan aset kepemilikan bank. Itu karena dia hanya mengurus aset manajemen kredit BPPN. Meski begitu, dia mengaku dirinya mengetahui perjanjian antara BPPN dengan Sjamsul Nursalim untuk memenuhi semua kewajiban dalam Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA)-BDNI, yaitu pembayaran sebesar Rp28,4 triliun.
"Saya tahu (perjanjian BPPN dengan Sjamsul Nursalim), tapi saya tidak terlibat," ujar Eko.
Mengetahui adanya perjanjian BPPN dengan Sjamsul Nursalim, Eko mengaku pada saat itu dirinya tak menyetujui perjanjian MSAA-BDNI.
"Pada waktu itu posisi saya tidak setuju oleh Sjamsul Nursalim," jelasnya.
Syafruddin dalam perkara itu didakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp4,5 triliun. Dia diduga terlibat dengan kasus penerbitan SKL dalam BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti, mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih S. Nuraslim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada 2004.
Dia didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
(rdw)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama