Dorong Evaluasi Kejaksaan

Hukum | Senin, 01 Juli 2019 - 11:49 WIB

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Operasi senyap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berbuntut penetapan tersangka Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Aspidum Kejati) DKI Agus Winoto menambah daftar catatan hitam Korps Adhyaksa. Dalam data Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus bukan jaksa pertama yang pernah berurusan dengan lembaga antirasuah. Medio 2004-2018, mereka mencatat sedikitnya tujuh jaksa terseret kasus korupsi.

Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, kondisi tersebut jelas bukan kabar baik bagi penegakan hukum. Khususnya di Kejaksaan Agung (Kejagung) berikut institusi di bawahnya.

Baca Juga :Menurut Mantan Penyidik KPK Inilah Empat Kriteria Pengganti Firli Bahuri

“Menandakan bahwa proses pengawasan di internal kejaksaan tidak berjalan secara maksimal,” terang Kurnia, Ahad (30/6).

Kurnia mengungkapkan, dari sejumlah kasus rasuah yang menyeret jaksa, pihaknya mencatat tiga pola korupsi yang kerap terjadi. Pertama, Kurnia menjelaskan bahwa tersangka diiming-imingi pemberian Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) dan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKP2). Tahap ini menjadi awal dari potensi korupsi terjadi. Pola itu, lanjutnya, biasa dilakukan agar kasus tidak sampai atau tidak perlu dilimpahkan ke persidangan. Sehingga tersangka tidak harus menjalani persidangan.

Pola kedua yang dicatat ICW, masih kata Kurnia, adalah pemilihan pasal dalam surat dakwaan yang menguntungkan terdakwa atau hukumannya lebih ringan. Biasanya pola itu dilakukan setelah kasus masuk persidangan. Seperti diketahui khalayak, surat dakwaan merupakan batasan bagi hakim ketika hendak menjatuhkan putusan.

“’Maka itu jual beli pasal kerap terjadi pada proses persidangan,” imbuhnya.

Terakhir, ICW mencatat pola yang juga dilakukan oknum jaksa yang terlibat kasus korupsi adalah lewat pembacaan tuntutan yang hukumannya meringankan terdakwa.

“Poin ini menjadi hal yang paling sering terjadi. Karena setidaknya pembacaan tuntutan akan turut memengaruhi putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim,” bebernya.

Pola itu pula yang diduga terjadi dalam kasus terbaru. Mempengaruhi jaksa untuk meringankan tuntutan. Atas kasus tersebut, sambung Kurnia, pihaknya menilai pandangan beberapa pihak yang mengharapkan kasus itu dilanjutkan Kejagung merupakan pandangan keliru.

 “Harus dikritisi secara serius,” tegasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa KPK adalah lembaga yang paling tepat menangani kasus korupsi yang berkaitan dengan penegak hukum. Itu juga dikuatkan dalam UU KPK. Tepatnya pasal 11 huruf a. Kurnia pun menjelaskan, tidak ada lembaga atau pihak manapun yang boleh mengintervensi penegakan hukum oleh KPK. Menurut dia, UU telah menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam tugas dan wewenangnya bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

“Apabila dalam penanganan perkara ada pihak yang mencoba intervensi, dapat dianggap menghalang-halangi proses penegakan hukum,” bebernya.(syn/jpg)

Editor: Eko Faizin









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook