Memanen Energi Listrik dari Sampah

Feature | Kamis, 29 Desember 2022 - 23:17 WIB

Memanen Energi Listrik dari Sampah
Seorang pekerja, Angga Laksmana menunjukkan hasil olahan sampah TPA Muara Fajar 2 yang sudah menjadi bahan bakar jumputan padat (BBJP), Sabtu (24/12/2022). BBJP ini digunakan untuk co-firing (bauran) batu bara di PLTU Tenayan. (MUHAMMAD AMIN/RIAUPOS.CO)

Sampah Pekanbaru yang 900-1.000 ton per hari berpotensi menjadi bom waktu jika tak diantisipasi. Tapi bom waktu itu bisa jadi bom energi dengan potensi sangat besar. PT PLN (Persero) mulai mengaktifkan potensi energi itu sebagai co-firing (bauran) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tenayan 2 x 110 MW. Pelan tapi pasti, sampah organik itu siap dipanen menggantikan peran batu bara.

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru

PULUHAN tenda berjejer di puncak bukit sampah di salah satu sudut Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muara Fajar 2, Pekanbaru. Tenda-tenda itu dibuat dengan beratap kain seadanya plus tiang kayu kecil yang diikat plastik kresek. Ukurannya hanya sekitar 1 x 1 meter saja. Sederhana sekali. Tenda-tenda itu dibuat sekadar untuk berteduh saat terik matahari memanggang Bumi. Para pemulung perlu tempat berteduh. Lokasi tenda-tenda itu berada di puncak gunungan sampah setinggi sekitar sepuluh meter dari permukaan tanah.

Petang itu, Sabtu (24/12/2022), tidak banyak lagi para pemulung yang bekerja. Padahal sejak pagi hingga siang, mereka rutin memilah dan mengambil  sampah, terutama botol bekas minuman air mineral. Hanya ada beberapa pemulung yang mengais sampah di antara ekskavator yang terus “menari” untuk memindahkan sampah. Truk-truk terus saja berdatangan mengantarkan sampah. Antrenya hingga sepuluh truk, sebelum ditimbang, lalu ditumpahkan ke tepian bukit sampah. Alat berat lantas memindahkannya ke bagian yang kosong di sisi perbukitan sampah lainnya. Truk-truk itu dan alat berat baru berhenti tengah malam. Tidak seperti aktivitas pemulung yang selesai “berkantor” jelang petang. Seperti “jam kerja” para pemulung, jam kerja pemilah sampah lainnya juga berakhir jelang petang itu.

Di pinggiran TPA Muara Fajar 2 kini berdiri bangunan baru untuk pemilah sampah lainnya. Pemilah sampah ini bukan pemulung. Mereka berbeda. Ada bangunan kokoh dan mesin-mesin baru di sana sebagai area kerja mereka. Bangunan di kaki bukit sampah itu berada di antara gunungan sampah dan penampungan kolam air lindi yang berada di bagian terbawah dari TPA ini. Kontur tanah TPA dengan luas 10 hektare ini miring. Bagian terbawah adalah kolam lindi. Di atasnya dibangun fasilitas baru tempat kerja para pemilah sampah ini. Bagian atas lagi perbukitan sampah. Fasilitas ini dibangun PT PLN (Persero) dan kemudian diserahkan pengelolaannya kepada Pemko Pekanbaru selaku pengelola TPA Muara Fajar 2.

Para pemilah sampah ini berjumlah lima orang. Jika para pemulung memilah sampah botol air mineral, mereka mengambil sampah organik. Tak tanggung-tanggung, mereka harus memilah dan mengambil 5 ton sampah organik dalam sehari. Sampah organik ini dijadikan bahan baku untuk co-firing (bauran) di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tenayan Raya. Satu orang rata-rata harus memindahkan satu ton sampah organik ke fasilitas pengolahan. Jarak fasilitas ini memang hanya sekitar satu meter dari gunungan sampah. Tapi semua masih dilakukan manual sehingga memerlukan kerja keras.

“Belum menggunakan mesin saat ini,” ujar seorang pekerja BBJP Plant TPA Muara Fajar, Angga Laksmana, Sabtu (24/12).

Angga bekerja sejak beberapa bulan terakhir di BBJP Plant ini. BBJP (bahan bakar jumputan padat) adalah bahan jadi yang siap dipergunakan untuk bauran batu bara di PLTU Tenayan. Angga, seperti juga empat rekannya, direkrut vendor PLN Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Utara (UIK SBU) yang mengelola BBJP plant ini, dari warga sekitar. Mereka bukan pemulung atau karyawan Pemko Pekanbaru, tapi mengikuti dan paham aktivitas di TPA ini.

 

Proses Pembuatan BBJP

Sejak pagi hingga petang, Angga dan rekan-rekannya harus memilah sampah organik, seperti daun-daunan, ranting pohon, buah-buahan, hingga limbah rumah tangga organik lainnya. Mereka sangat selektif. Tidak boleh sampah yang benar-benar basah. Ada lima bak yang disediakan untuk diisi dengan sampah organik. Bak ini didesain berongga dengan besi. Masing-masing bak bisa diisi dengan sampah organik sebanyak 3 ton. Ukurannya sekitar 8 x 2 meter dengan tinggi 1 meter.

“Tiap diisi 20 cm kemudian disiram dengan bio aktivator,” ujar Angga menjelaskan prosesnya.

Diperkirakan beratnya 750 kg setiap ketinggian 20 cm. Setelah disiram bio aktivator, maka kembali bak itu diisi sampah organik. Tiap ketinggian 20 cm, disiram kembali dengan bio aktivator hingga penuh. Setelah itu, bak itu ditutup dengan terpal dan dibiarkan selama tiga hari hingga sepekan. Proses biodryng atau pengeringan biologi pun terjadi. Proses ini mirip dengan pembuatan kompos. Terjadi juga penyusutan sampah organik ini hingga 30 persen setelah tiga hari. Beratnya pun jauh berkurang bahkan hingga 60 persen.

Selain sampah organik, dicampurkan juga sampah nonorganik sebanyak 5 persen.  Biasanya dimasukkan plastik kresek. Tidak boleh sampah nonorganik keras seperti botol, termasuk botol air mineral. Campuran ini dianggap cukup ideal agar BBJP itu padu. Tetap saja, bagian sampah organik harus dominan, yakni 95 persen. Semuanya turut dilakukan biodryng.

Sementara bak lainnya diisi sampah basah yang baru, sampah yang sudah dilakukan biodryng selama tiga hingga lima hari dikeluarkan untuk diangin-anginkan. Hanya saja, perlakuannya tetap di bawah kawasan yang beratap. Jika kondisi kering, maka proses pengomposan ini bisa berjalan tiga hari. Tapi jika hujan, dan kadang tempias air turut membasahi sampah yang tengah dilakukan biodryng, maka prosesnya bisa lebih lama. Kadang lima hingga tujuh hari. Setelah proses biodryng dianggap selesai, maka sampah dikeluarkan dari bak dan diletakkan di terpal beberapa jam. Tujuannya agar bakteri yang melakukan pengomposan saat biodryng itu tetap hidup dan panas atau kalorinya tetap terjaga. Baru setelahnya dilakukan proses pencacahan.

Ada dua mesin pencacah yang disiapkan. Mesin pencacah kasar dan pencacah halus. Pertama dilakukan pencacahan kasar. Setelah itu dilanjutkan dengan pencacahan halus. Mesin pencacah ini bekerja cukup cepat. Biasanya, pekerja menggunakan keranjang ukuran 70 x 50 x 40 cm untuk memindahkan sampah kering ke mesin pencacah.

“Empat keranjang ini hanya lima menit,” ujar Angga.

Satu bak penuh yang sampah basahnya mencapai 3 ton dan keringnya hanya sekitar 800 kg itu bisa dicacah kurang dari dua jam. Setelah dicacah halus, BBJP sudah jadi dan dimasukkan ke dalam karung. Sampai di sini, proses pembuatan BBJP selesai dan tinggal dikirimkan ke PLTU Tenayan.

“Sudah beberapa kali kami kirimkan,” tambah mandor pekerja Eki Candra.

Ditambahkan Pelaksana Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Pekanbaru, Taufik Reza Ardianto, sebelum dilakukan pencacahan, pihaknya selalu melakukan pengukuran kelembaban sampah. Tingkat kelembaban sampah yang disarankan adalah 20 hingga 23 persen.

“Jika belum mencapai kondisi seperti itu, maka akan kembali diangin-anginkan sebelum dicacah,” ujar Taufik.

Makanya, proses ini juga sangat tergantung pada cuaca. Jika sering hujan, maka prosesnya akan relatif lambat dibandingkan jika kering. Apalagi, sebagai bahan baku untuk PLTU, diperlukan berbagai pengujian sebelum bahan ini masuk ke tangki boiler PLTU. Selain pemeriksaan kelembaban di tingkat BBJP plant di TPA Muara Fajar 2 ini, di PLTU juga ada pengujian di laboratorium khusus.

Disebutkannya, saat ini sudah banyak BBJP yang dikirimkan ke PLTU Tenayan. Tiap hari, BBJP diantarkan dari TPA Muara Fajar 2 ke lokasi PLTU. Dalam sehari, diproduksi 1,4 ton BBJP dari awalnya sampah dengan berat kotor 5 ton. Terjadi penyusutan cukup banyak. Masing-masing BBJP dikemas dalam karung seberat 28-30 kg.

Adapun peralatan yang digunakan untuk pencacahan, termasuk peralatan lainnya diproduksi PLN sendiri yakni dari Pusharlis (Pusat Pemeliharaan Ketenagalistrikan). Taufik dan jajarannya, termasuk operator peralatan ini sudah mengikuti pelatihan untuk proses pembuatan BBJP dan bagaimana standar yang diperlukan. Pelatihan mendatangkan trainer dari subholding PLN yakni PT Indonesia Power dan tim pelatih dari Cilegon yang lebih berpengalaman. Selain di Pekanbaru, BBJP plant ini juga dibangun di Medan, Muara Karang, dan Cilegon.

Ditambahkan Manager UPDK PLN Pekanbaru, Muhammad Daniel, produk yang dihasilkan masih berupa sampah halus, bukan briket. Produknya juga tidak berbentuk pelet atau sehalus pelet. Akan tetapi, hal ini sudah disesuaikan dengan standar yang diperlukan untuk substitusi batu bara.

 

Atasi Sampah, Menuju Energi Bersih

Program BBJP plant ini memiliki dua tujuan sekaligus. Pertama, menjadi bagian dari tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PLN. Saat ini, produksi sampah Kota Pekanbaru mencapai 900-1.000 ton per hari. Tentunya ini menimbulkan problem tersendiri. Sampah ini terus menggunung. Bahkan TPA Muara Fajar 1 saat ini tidak difungsikan lagi karena ada kendala. Sementara TPA Muara Fajar 2 tampak sudah makin padat. Bahkan sisi bukit sampahnya sudah berjarak sangat dekat dengan BBJP plant. Hanya sekitar 1 meter saja. Tentunya, dengan pengolahan 5 ton sampah per hari, sedikit banyaknya masalah sampah ini akan bisa diatasi. Informasi yang didapat, jika serangkaian uji coba penggunaan BBJP ini sukses, maka akan dilakukan peningkatan kapasitas pengolahan sampah. Bisa jadi akan mencapai 30 ton per hari seperti halnya di Cilegon.

Sebagai catatan, di Cilegon sudah mulai diberlakukan pengolahan sampah untuk BBJP skala besar, yakni 30 ton per hari. Potensi TPA Muara Fajar 2 Pekanbaru juga bisa dimaksimalkan seperti itu.

Sebenarnya, pengolahan sampah menjadi energi ini juga sudah dimulai di TPA Muara Fajar 1 sejak tahun lalu. Bahkan investor dari Korea, yakni PT Sungan ENT Co Ltd dengan PT Daehan sudah menempatkan peralatan pengolahan sampahnya di TPA Muara Fajar 1. TPA ini berada sekitar 3 km dari TPA Muara Fajar 2. Menurut informasi dari seorang security TPA Muara Fajar 2, sebenarnya TPA Muara Fajar 1 ini masih aktif. Belum penuh. TPA ini tidak dipakai sementara karena jalan menuju TPA mengalami rusak berat. Akibatnya, truk-truk kerap terperosok dan akhirnya tidak bisa masuk ke lokasi TPA. Adapun TPA Muara Fajar 2  hanyalah cadangan dan untuk sementara saja.

“Tapi kemudian berlanjut sampai sekarang,” ujarnya.

Tidak aktifnya TPA Muara Fajar 1 tentu saja menyebabkan suplai sampah di sana terhenti juga. Pejabat Pemko Pekanbaru sebelumnya menyebutkan bahwa terhentinya proyek pengolahan sampah menjadi energi ini karena wabah Covid-19. Bukan karena tidak aktifnya TPA Muara Fajar 1.

Kondisi sekarang, TPA Muara Fajar 1 tidak ada aktivitas. Semua truk sampah diarahkan ke TPA Muara Fajar 2. Peralatan pengolahan sampah jadi energi asal Korea itu pun terbiar. Rumput dan ilalang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Pagar TPA pun ditutup karena tidak ada aktivitas lagi di sana.

Awalnya, investasi sampah jadi energi di TPA ini ditargetkan bisa menghasilkan energi berupa listrik sebesar 24 megawatt (MW). Sudah ada juga rencana kerja sama dengan PLN untuk menjual energi listrik ini. Nilai investasi yang ditanamkan sebesar 200 juta dolar AS.

Belakangan, investasi sampah jadi energi (waste to energy) berubah menjadi pengolahan sampah menjadi briket. Peralatannya sudah ada dan siap dioperasikan. Briket ini bahkan sudah direncanakan akan dijual ke beberapa pabrik yang memerlukan briket, di antaranya pabrik semen di Padang. Hanya saja, proyek ini terhenti di tengah jalan.

Menurut Manager UPDK PLN Pekanbaru, Muhammad Daniel, pembuatan BBJP plant menjadi bagian penting dari tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) PLN. TJSL PLN ini diharapkan dapat mengurangi sampah di kota ini. Hal ini merupakan bentuk kepedulian PLN terhadap masalah sampah. Lebih jauh, fasilitas yang semuanya diproduksi PLN ini diberikan kepada Pemko Pekanbaru, termasuk pengelolaan hingga penjualan produknya.

Penyerahan BBJP plant ini dilakukan Jumat (16/12) usai diresmikan pemakaiannya oleh General Manager PLN UIK SBU, Purnomo. BBJP plant sudah diserahkan pengelolaannya kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Pekanbaru. Saat itu, penyerahan dilakukan kepada Pj wali kota yang diwakili Pj Sekda Pekanbaru Indra Pomi.

Kendati sudah diserahkan ke Pemko Pekanbaru, dalam hal ini dikelola DLHK, akan tetapi berbagai prosesnya masih melibatkan PLN hingga saat ini. Apalagi, diperlukan transfer pengetahuan yang tepat tentang BBJP ini sebelum benar-benar digunakan sebagai bahan bakar substitusi batu bara.

“Setelah enam bulan nanti akan diserahkan sepenuhnya kepada DLHK,” ujar Daniel.

 

Energi Baru dan Terbarukan dari Sampah

Tujuan kedua BBJP plant ini adalah mengkreasi sumber energi bersih sebagai co-firing (bauran) batu bara. Untuk tahap awal, dilakukan bauran BBJP sebesar 1 persen dari total bahan bakar yang digunakan PLTU. Dengan berbahan bakar campuran organik yakni dari sampah organik 95 persen, diharapkan terjadi pengurangan energi fosil dalam produksi listrik PLTU. Bauran energi baru dan terbarukan (EBT) ini diharapkan terus bertambah persentasenya. Saat ini, PLTU Tenayan yang sudah beroperasi dengan kekuatan 2 x 110 MW, energi uapnya digerakkan batu bara.

Menurut mantan Supervisor Sistem Owner Boiler PLTU Tenayan, Deni Subandi, diperlukan 80 ton per jam batu bara untuk memperoleh 110 MW listrik. Jika diperlukan 1 persen co-firing, maka per jamnya diperlukan 0,8 ton BBJP. Dalam sehari diperlukan setidaknya 15 hingga 19 ton BBJP.

“Masih dihitung berapa konkretnya karena biasanya hanya 80 persen kapasitas boiler digunakan. Selain itu tidak 24 jam juga, karena ada jeda waktu mesin boiler untuk maintenance,” ujar Deni.

Satu unit boiler PLTU biasanya beroperasi selama 8 hingga 12 jam sehari. Kapasitasnya juga hanya 80 persen dari total muatan yang diperlukan. Makanya, co-firing BBJP juga menyesuaikan dengan kondisi. Saat dilakukan pembauran BBJP, akan dicek terlebih dahulu bagaimana parameternya, normal atau tidak. Semua diawasi dengan ketat agar jangan sampai mesin boiler PLTU malah rusak karena bahan bakar yang berbeda.

“Jika berjalan baik dan normal, maka bisa dilanjutkan, bahkan ditingkatkan,” ujar Deni.

PLTU Tenayan merupakan pembangkit listrik berteknologi CFB boiler. Teknologi PLTU ini berbeda dengan beberapa boiler PLTU lainnya. Makanya, pengujian bauran BBJP atau bahan bakar lainnya pun perlu dilakukan dengan teliti dan berkelanjutan, sebelum dinyatakan berhasil dan dilanjutkan.

Saat ini, pihak PT PJB UBJOM Tenayan selaku pengelola PLTU Tenayan masih menunggu pasokan BBJP dari TPA Muara Fajar. Sebagian sudah masuk, tapi dianggap belum cukup. Setidaknya diperlukan 40 ton BBJP untuk uji coba tahap awal. Selain itu, pihak laboratorium PLTU Tenayan juga masih meneliti dan menyeleksi bahan baku BBJP, apakah sudah sesuai standar atau tidak. Diteliti dan diuji kandungan kalorinya, kadar kelembabannya, dan termasuk persentase bahan organiknya.

Penggunaan BBJP bisa dimaksimalkan karena bahan baku yang tersedia dari sampah sangat melimpah. Harganya juga bisa ditekan sesuai ongkos produksi. Sebagai catatan, batu bara untuk PLTU rata-rata dipatok pada angka Rp700 ribu per ton. Harga ini sebenarnya jauh dari harga pasar atau harga batu bara acuan (HBA) yang mencapai 281 dolar AS per ton pada Desember 2022. Harga batu bara untuk pembangkit listrik diatur berbeda oleh Pemerintah. Batu bara memiliki kalori 4.000 kilokalori. Sementara, BBJP memiliki kalori rata-rata 2.000 kilokalori. Dengan jumlah kalori yang hanya separuhnya, maka otomatis harga per tonnya juga harus disesuaikan.

“Idealnya BBJP itu di angka Rp300 ribu per ton. Tapi tentunya harus dikalkulasikan lagi secara cermat,” ujarnya.

Keuntungan BBJP adalah lebih ramah lingkungan karena terbuat dari mayoritas bahan organik. Harganya pun relatif bisa dijangkau karena hanya perlu pengumpul sampah organik, biaya pengolahan, pekerja dan pengangkutan. Jarak pengangkutan juga relatif dekat. Antara TPA Muara Fajar dengan PLTU Tenayan hanya berjarak beberapa kilometer. Sedangkan batu bara harus dibawa dari Indragiri Hulu dengan jarak puluhan kilometer.

Keuntungan lainnya tentu dari segi emisi gas buang PLTU. Dengan menggunakan biomassa seperti BBJP, maka gas buang yang dihasilkan juga relatif lebih ramah lingkungan dan tidak banyak merusak atmosfer. Hal ini berbeda jika semua bahan bakarnya menggunakan energi fosil seperti batu bara. Bahan bakar dari BBJP tentunya lebih ramah lingkungan.

Dari sisi keekonomian, penggunaan BBJP juga relatif bisa menguntungkan. Sebab, harga batu bara relatif tidak stabil. Kendati diproteksi pemerintah, ongkos angkut batu bara juga menyesuaikan dengan biaya transportasi dan harga minyak dunia.

BBJP bisa saja akan terus diperbanyak produksinya jika mesin boiler PLTU Tenayan memungkinkan. Selain tahap awal 1 persen, kemungkinan naik menjadi 5 persen masih jadi target yang diharapkan. 

“Seperti di PLTU Paiton, itu bisa 20 persen bahan co-firing-nya,” ujarnya.

Hanya saja, jenis boiler di PLTU Paiton berbeda dengan PLTU Tenayan. Bahan bakar EBT yang digunakan juga berbeda. PLTU Paiton di Situbondo, Jawa Timur, menggunakan bahan bakar serbuk kayu. Mesin boiler-nya memungkinkan untuk peningkatan bahan baku EBT dengan kapasitas lebih besar.

 

Serbuk Kayu dan Cangkang Sawit

Selain BBJP berbahan baku sampah, PLTU Tenayan juga pernah melakukan uji coba bahan bakar alternatif dari serbuk kayu (brown fiber) seperti di PLTU Paiton. Hanya saja karena jenis mesin boiler-nya berbeda, maka dilakukan juga uji coba bahan lainnya. Uji coba serbuk kayu itu dilakukan pada 2020 lalu.

Kenapa serbuk kayu? Sebab, terdapat pasokan cukup banyak dari pabrik pulp dan kertas yang ada di Riau. Sejauh ini, yang diterapkan adalah dari serbuk akasia. Serbuk kayu dinilai sangat efisien sebagai campuran batu bara karena nilai kalorinya setara dengan batu bara. Dari segi operasional, blending (pencampuran) ini ternyata tidak berdampak signifikan terhadap pembakaran di dalam boiler.

Uji coba dilakukan pada 19-27 Juni 2020 lalu. Secara umum, uji coba pada boiler unit 1 PLTU Tenayan ini cukup berhasil. Pengujian dilakukan dengan campuran 1 persen serbuk kayu selama 8 jam pada beban 93 MW.

Ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam uji coba itu. Pertama dilakukan pencampuran antara serbuk kayu dan batu bara dengan komposisi 1 persen serbuk. Selanjutnya tahapan loading coal bunker, pengambilan sampel bahan bakar, pengecekan status flue gas, dan terakhir pengambilan sampel hasil pembakaran. Secara umum, hasilnya cukup baik karena tidak mempengaruhi boiler.

Selain serbuk kayu, PLTU Tenayan juga pernah melakukan uji coba penggunaan cangkang sawit. Uji coba co-firing cangkang kelapa sawit dilakukan pada tanggal 27-31 Januari 2020, lebih dahulu dibandingkan serbuk kayu. Seperti diketahui, Riau adalah wilayah dengan luas kebun sawit terbesar di Indonesia, sekitar 2 juta hektare. Turunan dari produk sawit, termasuk cangkangnya sangat melimpah. Cangkang sawit juga pernah diujicobakan di PLTU Tenayan sebagai substitusi batu bara.

Bahkan kalori yang dihasilkan cangkang sawit bisa lebih banyak dibandingkan batu bara yakni 4.300 hingga 4.600 kilokalori. Pembakarannya juga baik bagi boiler PLTU. Hanya saja, setelah dibandingkan, ternyata hasilnya lebih efisien serbuk kayu. Selain itu, harga cangkang sawit relatif lebih mahal, yakni Rp1,8 juta per ton. Cangkang sawit juga sudah memiliki pasar tersendiri sehingga harganya bersaing. Malah harga serbuk kayu lebih ekonomis dibandingkan dengan cangkang sawit.

“Yang lebih ekonomis lagi ya dari BBJP ini,” ujar Deni.

 

Komit Energi Hijau

Pembangunan PLTU berbahan bakar batu bara memang sudah telanjur dilakukan untuk mengantisipasi krisis energi. Akan tetapi, substitusi dengan biomassa kini menjadi komitmen PLN agar pencemaran dapat ditekan. Apalagi bahan baku BBJP sangat melimpah. Komitmen menciptakan energi bersih dari sampah ini pernah disampaikan Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra, yang berkolaborasi dengan beberapa pengelola PLTU. Baik PT PJB UBJOM yang mengelola PLTU Tenayan, maupun PLN Indonesia Power yang mengelola co-firing, sama-sama anak perusahaan PLN.

Edwin menuturkan, PLN Indonesia Power telah melakukan riset terkait pengolahan sampah menjadi bahan bakar sejak 2018. Riset itu dilakukan berkelanjutan dan sudah mulai diterapkan di beberapa PLTU di Indonesia, termasuk PLTU Tenayan.

Kendati substitusi biomassa itu masih relatif kecil, antara 1-5 persen, tapi pengaruhnya sangat signifikan. Sampah berkurang, lapangan kerja baru terbuka, emisi karbon juga makin berkurang. Diperkirakan, penggunaan biomassa akan menurunkan emisi karbon per tahun sebesar 2.064–2.886 ton CO2. Selain itu, terjadi juga pengurangan pemakaian batu bara sebesar 3.600–5.000 ton per tahun. Tentunya ini akan berdampak signifikan bagi perubahan iklim.

Selain PLTU yang kini sudah mulai ada pembauran dengan biomassa, di Tenayan juga sudah dioperasikan PLTGU (pembangkit listrik tenaga gas uap). PLTGU Tenayan ini diresmikan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif  pada 12 Mei 2022. PLTGU berkapasitas 275 megawatt (MW) lebih ramah lingkungan karena menghasilkan emisi yang lebih kecil. Emisi dari gas alam separuh lebih kecil dibandingkan bahan bakar batu bara.

Dalam beberapa tahun terakhir, PLN memang berusaha membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Adapun yang sudah telanjur seperti PLTU, dicarikan bahan substitusi berupa biomassa. Arifin Tasrif menyatakan bahwa Kementerian ESDM berkomitmen membangun pembangkit yang ramah lingkungan. Hal ini merupakan wujud komitmen Indonesia terhadap energi bersih kepada dunia internasional. Targetnya net zero emmision pada 2060. Akan ada 1,5 giga ton CO2 yang harus dilenyapkan dengan berbagai macam cara. Salah satunya, dengan pemanfaatan energi baru terbarukan.***

 

Editor: Edwar Yaman

 

 

 

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook