Tak lama kemudian, terlihat pantai Halla Wuimahi di mana Pelabuhan Raijua berada. Di tengah terik matahari siang dan tak terlihat sedikit pun awan di langit, semuanya nampak indah membentang di seluruh penjuru mata angin. Pelan-pelan Kapal Motor Pulau Dana 3 merapat ke dermaga. Cukup lama prosesnya karena selain dermaga yang kecil, juga sudah ada sebuah kapal yang merapat, mepet dengan pelantar dermaga. Akhirnya Pulau Dana 3 bersandar di sebelah kapal tersebut dan penumpang yang turun harus hati-hati karena harus melewati geladak atas kapal tersebut.
Ketika menginjak pelantar dermaga, saya melihat Nando sudah berada di sana dengan motornya. Dia melambaikan tangan kepada kami, saya dan Yulius.
“Selamat datang di Raijua, Bang... Inilah pulau milik Yulius,” ujar Nando berseloroh.
Kami lalu tertawa bersama sambil bersalaman.
Saya kemudian berjalan ke sebelah kanan, ke sebuah pelantar yang menjorok ke laut, tetapi kondisinya sudah sangat rusak. Terlihat beberapa bagian semennya sudah tak ada. Hanya terlihat kawat-kawat sebesar jari yang menjadi tulang kontruksinya. Saya harus hati-hati melompatinya agar tak terjerembab.
Di pelantar itu, banyak anak-anak dan orang dewasa sedang memancing. Juga ada yang sedang menjala. Di jala yang sudah terangkat, mereka berhasil menangkap ikan belanak yang dikumpulkan ke dalam ember. Sedangkan para pemancing belum terlihat mendapatkan ikan besar, meski berkali-kali mereka melempar kailnya ke posisi yang lumayan jauh ke arah laut.
Saya asyik memotret itu semua. Termasuk beberapa kapal yang bersandar membuang jangkarnya agak menjorok ke laut, tidak di tepi dermaga. Kata Yulius, itu adalah kapal barang pedagang beras dari Makassar. Mereka membuang jangkarnya di situ bisa berhari-hari sampai berasnya habis. Lalu mereka akan kembali ke Makassar membawa beberapa barang dagangan seperti gula semut atau gula curah lontar yang memang menjadi komoditi utama masyarakat Raijua. Seperti halnya juga di Sabu.
Setelah itu Nando mengajak saya naik ke motornya, sedang Yulius berada di boncengan motor teman Nando. Yulius hanya naik motor sampai di luar pelabuhan karena dia akan mengambil motor yang ditinggalkan istrinya di salah satu penitipan motor di sana. Sedang Nando membawa saya ke penginapan. Perjalanan dari dermaga menuju penginapan hanya sebentar, tapi jalanannya berdebu karena belum diaspal. Saya juga merasakan, meskipun di Sabu panasnya sangat menyengat, ternyata di Raijua lebih menyengat lagi.
Kami tiba di penginapan, yang juga berada di depan kamar kos Nando.
“Di sini saya kos bayar 300 ribu rupiah. Tapi juga bisa disewa sebagai penginapan. Harga semalamnya 100 ribu rupiah,” kata Nando sambil tersenyum.
Mungkin dia tahu saya akan menganggapnya cukup aneh. Memang aneh, sebab besar kamar yang saya tempati dan yang ditempati Nando, sama. Hanya saja, di kamar yang saya tempati ada tiga dipan dengan kasus dan bantal di atasnya. Sedangkan di kamar Nando hanya ada satu kasur di lantai tanpa dipan.
“Itu bedanya kamar kos dengan hotel,” kata Nando berseloroh.
Inilah Kelurahan Ledeunu, ibukota Kecamatan Raijua. Jangan berpikir seperti ibukota kecamatan di Jawa, Sumatra atau pulau-pulau lainnya seperti yang ada dalam pikiranmu. Jangan bertanya ada angkutan umum, rumah makan besar, ruko-ruko berderet, dan sebagainya. Di sini tidak ada.
Statusnya memang ibukota kecamatan, tetapi Ledeunu bukanlah ibukota kecamatan seperti yang ada dalam bayangan kita yang tinggal di kota-kota atau bahkan di perkampungan di Jawa dan daerah lainnya.(bersambung)