“Ditemani Bang Brother, ya?” kata Pak Putu merujuk pada Bang Marthinus Rihi Dima, atau biasa dipanggil Bang Brother, staf Pak Putu di Dinas PPO, yang selalu menemani saya selama ini jika melakukan perjalanan agak jauh di luar Seba.
Pak Putu bilang bahwa dia mengenal Yulius Boni Geti dengan baik karena sering bertemu secara informal maupun formal saat wawancara. Tapi kembali dia bilang bahwa sebaiknya memang ditemani Bang Brother. Dia hanya ingin merasa tenang.
Saya bilang tidak apa-apa saya berangkat bersama Yulius. “Saya mengenal dia dengan baik. Kami sudah berteman lama di Facebook, dan saya percaya dia akan memperlakukan saya dengan baik di sana,” jawab saya.
“Iya, ditemani Bang Brother saja... Di sana tak ada yang dikenal. Nanti kalau ada apa-apa bagaimana?” Yang ini suara Ibu Dorkas.
Saya paham kecemasan mereka. Mereka menganggap saya tamu mereka. Jika terjadi apa-apa dengan saya di luar sepengetahuan mereka, mereka akan merasa bersalah. Saya tersenyum dalam hati. Saya menjadi orang “istimewa” di sini. Mereka menganggap saya “tamu dari Kementerian”. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya.
Kembali saya meyakinkan mereka bahwa saya sangat percaya dengan Yulius Boni Geti. Dia pasti akan melakukan apa pun agar tidak terjadi apa-apa dengan saya. “Di sana juga ada Nando (Jefrison Haryanto Fernando), Ibu. Nanti Nando juga akan membantu salama saya di Raijua...”
Namun perdebatan sore itu tak putus. Pak Putu dan Bu Dorkas tetap bersikeras bahwa saya harus didampingi Bang Brother. Bagi saya tak masalah didampingi atau tidak. Tapi ini hanya persoalan praktis saja. Sebab saya belum tahu kondisi di sana bagaimana. Terutama soal transportasi selama saya di sana, juga penginapan. Yang pasti, Yulius dan Nando punya sepedamotor. Saya juga belum tahu mau menginap di mana selama di Raijua. Dari cerita Yulius, rumah dia berada di pedalaman, jauh dari Ledeunu, Ibukota Kecamatan Raijua. Kemungkinan besar saya akan menginap di Ledeunu, bukan di Desa Ballu, kampung Yulius.
Tapi di luar itu, saya merasa terharu dengan Pak Putu dan Bu Dorkas. Apa yang mereka sampaikan itu adalah perasaan kepedulian yang besar kepada saya. Mereka tak ingin terjadi apa-apa dengan saya karena saya berada di tempat yang jauh. Saya tahu maksudnya. Jika saya bersama Bang Brother, mereka bisa sewaktu-waktu bertanya kepadanya tentang bagaimana kondisi di Raijua saat saya berada di sana.
Malamnya saya kembali meyakinkan Pak Putu bahwa saya aman bersama Yulius. Saya kirim lewat pesan WhatsApp. Beberapa saat kemudian Pak Putu menjawab “oke”. Tak lama setelah itu, Yulius mengirim pesan ke saya bahwa Pak Putu menitipkan saya ke dia selama di Raijua. “Beliau bilang, ‘tolong temani Pak Hary, saya titip beliau ke Pak Boni Geti’,” tulis Yulius dalam pesannya itu.
Seketika, mata saya terasa berat. Seperti terkumpul air di sana. Saya tresnyuh atas perhatian Pak Putu, Bu Dorkas, Yulius, dan orang-orang di pulau ini. Mereka sayang peduli kepada saya hingga soal yang seharusnya remeh ini menjadi sesuatu yang penting bagi Pak Putu dan Bu Dorkas. Saya bersyukur Allah Swt menemukan saya dengan orang-orang baik di Sabu Raijua ini, meskipun kami berbeda keyakinan dan etnis.
Dua hal yang di banyak tempat menjadi persoalan. Tak seiman dan tak sesuku, saat ini, banyak dipersoalkan. Saya jadi ingat saat Pilkada di sebuah daerah, sampai ada sebuah agama yang menyerukan agar tak menyolatkan mayat yang ketika hidupnya saat memilih pemimpin, memilih orang yang tak seakidah.
Orang-orang Sabu Raijua membuktikan bahwa suku dan agama bukanlah sekat yang membuat hubungan manusia dengan manusia lainnya harus dijauhkan. Pak Putu, Bu Dorkas, Yulius, Nando, Bang Brother dan yang lainnya tak pernah memikirkan hal itu. Itu terlihat dari apa yang mereka lakukan kepada saya di setiap kami bertemu. (bersambung)