PERJALANAN KE PULAU KARANG (9)

Mario Leo dan Masa Depan Tenun Tradisional Sabu

Feature | Rabu, 15 Januari 2020 - 00:19 WIB

Mario Leo dan Masa Depan Tenun Tradisional Sabu
Maria Leo saat melakukan kegiatan menenun di tokonya di Seba, Kelurahan Mebba, Sabu. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Maria kemudian menjelaskan, membuat tenun ikat prosesnya memang panjang dan lama. Tergantung tingkat kesulitannya. Sebab selain ada proses menenun, juga ada proses mewarnai, mengikat sesuai pola dan gambar, proses pengeringan, dan sebagainya. Katanya, untuk satu kain tentun ikat jenis sarung, misalnya, bisa memakan waktu 5-7 hari. Jika kainnya lebih lebar dan motifnya lebih rumit, bisa memakan waktu lebih lama.

 Warna dan motif memang sangat menentukan tinggi rendahnya harga. Untuk tenun dengan motif dan warna yang tidak terlalu banyak, dengan panjang 220 x 60 cm, harganya bisa mencapai 500-800 ribu rupiah. Tapi jika jika motif dan warnanya banyak, bisa sampa 1 juta rupiah. Untuk heleda atau syal ukuran 115 x 15 cm, harganya 50 ribu. Katanya, kalau beli di toko, bisa 75-100 ribu  rupiah per helainya. Saya kemudian membeli beberapa helai dengan warna dan corak yang berbeda-beda. Yang paling mahal adalah kalau yang digunakan benang sutra, harganya bisa mencapai 1,7-2 juta rupiah.


Sebelum ke sini, saya memang mampir di sebuah toko di Pasar Seba. Harganya memang ditawarkan 100 ribu rupiah. Tapi si penjual, seorang perantau dari Bantul, Yogyakarta, untuk harga perkenalan bisa menjadi 75 ribu rupiah.

“Kalau sutra, selain benangnya lebih mahal, pengerjaannya juga lebih rapi dan teliti,” jelas perempuan beranak 6 orang ini.

Semua kain tenun ikat di Sabu memang dibuat dengan tangan secara tradisional. Tidak ada yang dibuat dengan mesin. Para pengrajin tersebar hampir di semua desa baik di Pulau Sabu maupun di Pulau Raijua. Para perempuan biasanya dari kecil diajarkan untuk menenun. Maria sendiri belajar tenun sejak masih gadis belia.

Di Sabu, Maria termasuk penenun yang dikenal luas. Dia bersama beberapa penenun lainnya mendapat binaan dari Dekranasda Sabu Raijua. Tanggal 27 April hingga 2 Mei 2019 Maria ikut pameran tenun bersama rombongan dari Dinas Transmigrasi dan UKM NTT di Yogyakarta. Selain itu, secara berkala, dia juga mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan Dekranasda Sabu Raijua. Di sana, selain menambah ragam corak, juga dilatih bagaimana memasarkannya.

Nah, pemasaran inilah yang menurutnya memang agak susah di Sabu. Rata-rata per hari dia hanya bisa menjual 3-5 helai kain. Itu tergantung kondisi. Karena Sabu bukan daerah tujuan wisata dibanding pulau lain di NTT atau daerah lain, tak bisa mengandalkan pembeli dari turis yang datang. Tetapi, rata-rata jika ada turis ke Sabu, mereka memang mencari oleh-oleh kain tenun ikat tradisional khas Sabu ini. Jika jumlah mereka banyak, Maria senang karena mereka biasanya mengambil dalam jumlah yang banyak.

Jika tak ada turis, penjualan memang mengandalkan masyarakat Sabu sendiri. Di Sabu, setiap ada upacara tradisional, upacara kematian, pernikahan, dan sebagainya, memang “wajib” memakai kain tenun ikat. Ini sudah tradisi turun-temurun dari dulu. Ketika ada kematian misalnya, minimal yang lelaki memakai heleda, dan yang perempuan memakai kain sarung tenun yang panjang. Kalau di upacara adat  tradisional seperti Hole atau yang lainnya, sudah pasti semua yang hadir memakai kain tenun ikat tradisional ini. Kondisi inilah yang membuat produksi tenun ikat tradisional Sabu ini terus bertahan dan hidup. Pembelinya sudah pasti ada, yakni masyarakat Sabu sendiri, tetapi tidak dalam jumlah yang besar.

Tentang upaya sekolah SMP  N 1 Sabu Barat dan beberapa sekolah lainnya di Sabu yang mewajibkan  siswa-siswinya memakai kain tenun ikat tradisional, Maria Leo menanggapinya positif. Menurutnya, ide itu sangat bagus dan kalau bisa seluruh sekolah mewajibkan itu. Katanya, setiap tahun ajaran baru, memang banyak permintaan tenun ikat itu dari para orangtua yang anak-anaknya masuk ke SMP N 1, juga SMP N 6 yang belakangan juga melakukan kebijakan yang sama.

“Kami senang dengan hal itu, dan semoga para orangtua tidak marah dengan kebijaksanaan sekolah tersebut,” kata Maria Leo.

Hari sudah semakin siang. Saya lalu membayar untuk beberapa helei heleda yang saya beli. Kata saya sambil bercanda, “Tidak dapat diskonkah saya, Mama?” Maria Leo berusaha tersenyum tanpa mengiyakan atau berkata tidak. Tapi bagi saya senyum itu sudah cukup menjelaskan perasaan hatinya yang senang.

Masa depan tenun ikat tradisional Sabu sangat baik, jika ada cara dan metode lain dalam membangun pasar. Lewat online, barangkali? (bersambung)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook