PETUALANGAN KE PULAU KARANG (2)

Selamat Datang di Pulau Sabu dan Raijua...

Feature | Rabu, 08 Januari 2020 - 13:10 WIB

Selamat Datang di Pulau Sabu dan Raijua...
Suasana "Kota" Seba, ibu kota Kabupaten Sabu Raijua. Terlihat beberapa pedagang sedang menjajakan dagangannya. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

Saya mengangguk-angguk, antara heran, tak percaya, atau... Saya membayangkan pasar desa di desa tempat saya dibesarkan. Sebuah desa transmigrasi. Yakni Desa Sukamaju, di Kecamatan Rimbo Ulu, Kabupaten Tebo, Jambi. Ramainya hampir sebanding. Hanya saja jumlah kendaraan di Seba lebih banyak ketimbang di Pasar Desa Sukamaju. Jika dibandingkan dengan ibukota kecamatan, baik di Kecamatan Rimbo Ulu maupun kecamatan induk sebelum mekar, Rimbo Bujang, sangat jauh berlipat-lipat.

Tapi, ah, saya tak ingin membanding-bandingkan. Saya sangat bersyukur bisa sampai ke pulau ini dengan sehat dan selamat. Justru karena kondisinya seperti inilah saya ditempatkan di sini. Untuk melakukan perjalanan, pengamatan, dan menuliskan apa yang saya temukan itu. Pasti ada yang unik di sini. Pasti ada yang berbeda, sesuatu yang menarik dan khas, yang tak dimiliki daerah lain di ceruk-ceruk wilayah di Indonesia lainnya.


Perjalanan selanjutnya terlihat nyaman. Terlihat di kanan-kiri tanah-tanah lapang, padang rumput, tapi rumputnya  mengering. Di beberapa bagian terlihat ada batu-batu karang di tanah lapang itu. Agak berbukit-bukit. Ada sekat-sekat pohon-pohon kedondong. Mungkin itu menandakan batas-batas pemilik tanah. Beberapa saat setelah itu, di sebelah kanan, terlihat ada tanah lapang dengan pagar setinggi hampir 2 meter, dengan kawat berduri di atasnya.

“Ini Bandar Udara Terdamu,” ujar Salim. Terlihat  plang nama di sebuah gapura yang menuliskan nama bandara tersebut.

Selain lewat laut, moda pesawat udara memang menjadi pilihan banyak orang yang mau ke Kupang atau sebaliknya dari Kupang ke Sabu. Kata Salim, hanya maskapai Susi Air yang terbang setiap hari ke bandara ini. Harga tiketnya pun lumayan mahal. Pengalaman dia, penumpang dan barangnya ditimbang. Dari sanalah ditentukan berapa harga tiket yang harus dibayar. Jadi, berat badan si penumpang dan barang bawaan yang menentukan murah-mahalnya harga tiket.

Susi Air sendiri, kata Salim, seperti berkeliling NTT setiap hari. Kadang ada penerbangan langsung Sabu-Kupang, tapi kadang juga dari Sabu melewati Waikabubak (Pulau Sumba), lalu Ende, Labuan Bajo,  Maumerre, dan beberapa kota lainnya sebelum sampai di Kupang. Ini adalah misi penerbangan perintis dengan pesawat kecil.

Wah, asyik juga jika bisa terbang ke kota-kota yang disebut Salim tadi. Kota-kota yang selama ini sering terucap di mulut saya. Kota-kota yang menyimbolkan daerah-daerah indah seperti yang tergambar dalam beberapa film Indonesia yang mengambil kolasi di syuting di daerah-daerah tersebut. Saya membayangkan itu akan menjadi perjalanan yang asyik, menawan, dan liar.  Namun, ah, sekarang saya berada di pulau ini. Dataran padang rumput dengan batu-batu karang itu juga menjelaskan bahwa Pulau Sabu juga menjanjikan pengembaraan yang liar dan penuh tantangan.

Kita lihat saja nanti!

Tiba-tiba ada dering suara telepon berbunyi. Rupanya milik Dr Sastri. Lalu terdengar Dr Sastri bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Nando di Raijua? Katanya kangen sama saya. Kapan ke Sabu? Besok?”

Setelah itu terjadi perbincangan beberapa lama. Nampaknya Dr Sastri sangat akrab dengan orang yang disebuh Nando tersebut. Setelah menutup telpon, Dr Sastri berkata kepada saya, “Nanti Hary harus kenal dengan Nando. Dia pemuda pulau ini. Sekarang jadi ASN di Raijua. Besok dia balik ke Sabu. Nanti Kakak perkenalkan,” ujarnya.

Saya hanya mengangguk. Jadi penasaran, siapa sebenarnya si Nando ini.

Tak terasa, mobil yang dikendarai Bu Dorkas sudah memasuki halaman sebuah penginapan. Penginapan Komang namanya. Agak aneh juga. Di pulau ini ada penginapan dengan nama khas Bali? Di dalam kamar kemudian pertanyaan saya itu terjawab. Setelah masuk ke kamar dan menyelesaikan hal-hal yang rutin seperti mandi dan sebagainya, saya melihat ada sebuah buku tipis berwarna putih, tapi kertas dalamnya berwarna kuning. Proses “percetakan” buku ini terlihat manual print, tidak melalui proses percetakan selayaknya banyak buku. Terlihat dari hasilnya, termasuk foto-foto warnanya yang cenderung buram. Juga cara jilidnya, hanya memakai hekter, tidak menggunakan lem. Cerita Rakyat Sabu,  judul bukunya. Tak ada nama penulisnya di sampul. Hanya ada tulisan besar di bagian bawahnya, “Penginapan Komang, Jln. Eltari Menia Sabu Raijua”. Di tengah ada foto sepasang lelaki dan perempuan dengan menggunakan pakaian adat. (bersambung)        









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook