BERTUALANG KE PULAU KARANG (1)

Menembus Waktu Pekanbaru-Jakarta-Kupang-Sabu, dan Resleting Celana yang Terbuka

Feature | Selasa, 07 Januari 2020 - 16:50 WIB

Menembus Waktu Pekanbaru-Jakarta-Kupang-Sabu, dan Resleting Celana yang Terbuka
Pemandangan di Pelabuhan Seba, Pulau Sabu, saat pagi hari. (HARY B KORIUN/RIAUPOS.CO)

“Tutuplah reseleting celanamu itu. Dari tadi Gabby tertawa melihatmu,” katanya pelan, mungkin takut ada orang-orang di halaman kantor dan ruang tunggu pelabuhan itu mendengarnya.

Sial! Saya mengumpat dalam hati sambil menahan malu. Mungkin wajah saya seperti kepiting rebus. Berarti, resleting itu tak terpasang sejak dari bandara tadi. Waktu saya buang “hajat” di toilet bandara sebelum menunggu bagasi. Berarti mungkin semua orang di ruang tunggu bagasi itu melihatnya!


Gabby kemudian membawa kami  menuju loket KM Fungka yang berada di jalan raya di luar area pelabuhan, balik menuju arah Kupang. Kebetulan tiket masih tersedia banyak. Kami membeli empat orang. Satu tambahan lagi untuk Mas Salim, staf Kantor Bahasa NTT yang ikut mengantar ke Pulau Sabu nantinya.

Dalam kondisi ngantuk dan capai semua, Dr Sastri kemudian menghubungi Kepala Kantor Bahasa NTT, Ibu Valentina. Kami kemudian diajaknya ke kantornya di kawasan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) NTT. Kantor Bahasa NTT berkantor di kawasan LPMP. Perempuan “blasteran” Malang dan NTT itu sangat ramah dan antusias menyambut kami.  Setelah dibawa makan siang di sebuah rumah makan khas ikan yang dikelola keluarga asal Jawa di sebelah Kantor Gubernur NTT, kami dipersilakan istirahat di Mess LPMP.

Ketemu kasur dan bantal dalam kondisi flu berat, ngantuk, dan capai, membuat saya tertidur hingga jam 16.00 Wita. Setelah mandi, badan menjadi sangat segar dan meskin flu masih menggelayut, rasa badan sudah mulai nyaman. Sejam kemudian Gabby datang dan mengantarkan kami menuju Pelabuhan Tenau. Di tengah jalan, azan Magrib berkumandang. Gabby mengantarkan kami salat di Masjid Raya Nurussa’adah, masjid terbesar di Kota Kupang. Masjid ini terletak di Jl Soekarno, Fontein, Kecamatan Kota Raja, Kupang.

Sebelum sampai masjid, Gabby bercerita tentang sejarah komunitas muslim di Kupang dan bagaimana mereka membangun toleransi dengan agama lain di Kupang.

“Kalau sedang salat Jumat, para pemuda dari Protestan, Katolik, dan Budha yang menjaga di luar,” ujar Gabby.

Gabby tetap berada di mobil ketika kami salat berjamaah dengan ratusan jemaah lainnya di masjid tersebut. Dia tak merasa canggung berada di pelataran parkir. Dia banyak kenal beberapa orang muslim di sana dan mereka saling sapa dengan sangat ramah.

Setelah salat, kami meluncur ke Pelabuhan Tenau. Setelah mengambil tiket di Loket KM Fungka, kami langsung masuk ke pelabuhan, dan menuju kapal. Karena ingin cepat duduk dan tenang, kami naik ke atas dan masuk bilik di kapal itu. Masing-masing penumpang yang membeli tiket seharga sekitar Rp350 ribu, mendapat bilik untuk berdua. Bilik itu tidak besar, sekitar 2x2 meter, dan ada dua kasur yang masing-masing pas untuk satu badan. Di atas dan bawah. Ada satu AC yang digunakan untuk dua kamar, berbagi dengan kamar sebelah. Saya dan Mas Salimulloh Tegar Sanubarianto (staf Kantor Bahasa NTT) berbagi kamar malam itu.

Sementara untuk penumpang kelas ekonomi, mereka tidur di sebuah ruangan besar di geladak, dengan masing-masing mendapat kasus pas sebadan. Juga dua tempat, atas dan bawah. Meski kelas ekonomi, tetapi ruangan bersama ini tetap ber-AC dan ada beberapa televisi.

Dan, malam itu, saya merasakan perjalanan panjang yang gelap dengan gelombang yang menderu. Itu saya rasakan ketika tengah malam terbangun dan pergi ke kamar mandi. Para anak buah kapal (ABK) terlihat santai saja tertidur di beberapa kursi panjang tanpa selimut setelah kelelahan menyanyi di perangkat karaoke yang boleh siapa saja menyanyi di situ.

Tadi sebelum tertidur setelah beberapa saat kapal berlayar, saya mendengar sayup-sayup mereka menyanyi lagu lama, “Semalam di Malaysia”. Terasa berada di tanah Melayu di Pesisir Timur Sumatra...

Kekasih hatiku pun telah pula hilang
Hilang tiada kesan, aduhai nasib, apakah daya
Aku hanya, seorang pengembara, yang hina...
***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook