Kapal dengan nama lambung Pulau Dana 3 itu tak terlalu besar. Hanya memuat sekitar 30 penumpang. Itu pun tak penuh. Ini kapal bantuan pemerintah yang membuat transportasi dari Sabu ke Raijua lancar nyaman.
Oleh Hary B Koriun
ADA 4 kapal bantuan dari Kementerian Perhubungan lewat Dirjen Perhubungan Laut, yang mengelola ASDP. Kapal-kapal itu diserahkan kepada Pemkab Sabu Raijua, dan dikelola oleh sebuah kelompok usaha masyarakat bentukan pemerintah. Untuk sekali jalan, penumpang mengeluarkan biaya tiket Rp50.000.
Keberadaan kapal-kapal ini membuat masyarakat sangat terbantu. Sebelum ada kapal-kapal ini, kata Yulius Boni Geti, masyarakat Raijua yang ingin ke Sabu, harus naik kapal layar terbuat dari kayu. Bisa sehari penuh atau lebih baru sampai ke Sabu. Begitu juga sebaliknya. Dia pernah merasakan naik kapal layar itu setelah tamat SMP dan ingin melanjutkan SMA di Sabu.
Keberadaan kapal-kapal ini juga membuat perputaran ekonomi masyarakat di kedua pulau tersebut meningkat dengan pesat. Orang-orang Raijua bisa menjual tikar daun lontar --orang Raijua dikenal sebagai pembuat dan pedagang tikar daun lontar— ke Sabu dengan cepat. Para pedagang di kedua pulau ini juga bisa bolak-balik dengan cepat.
“Dulu, Raijua seperti pulau yang terisolasi,” ujar Yulius.
Dalam kapal ini terlihat barang-barang dagangan. Banyak pedagang yang membeli barang di Seba dan menjualnya di Raijua. Maka, di kapal itu pun terlihat ada beberapa kardus barang yang mungkin isinya beragam, ada beberapa ayam jantan yang dimasukkan ke dalam sarang khusus –kemungkinan ini ayam taji, sebutan untuk ayam aduan— yang membuat si ayam nyaman, ada beberapa sepeda motor, kasur, sayur-mayur, dan banyak lagi. Barang-barang itu diletakkan di depan, ada tempat khususnya. Kecuali sepeda motor dan benda-benda besar lainnya seperti seng dan yang lainnya diletakkan di atas atap kapal.
Angin laut bertiup kencang di tengah terik yang memanggang ketika saya sampai di Pelabuhan Seba dengan motor milik Bang Brother. Setelah menitipkannya ke Bang Nathan, seorang petugas pelabuhan --kawan dekat Bang Brother-- saya tergopoh-gopoh lari di pelantar pelabuhan menuju kapal. Siang hampir menunjukkan pukul 12.00 Wita. Itu jadwal keberangkatan kapal siang ke Raijua.
Saya memang takut ketinggalan. Takut merepotkan sebenarnya, karena kapal pasti tetap akan menunggu penumpangnya. Tak enak nanti melihat orang-orang yang berwajah masam melihat saya menjadi penumpang terakhir karena mereka harus menunggu lama.
Beberapa menit sebelumnya Yulius Boni Geti menelpon bahwa kapal akan berangkat tepat pukul 12.00. Tinggal menunggu saya.
“Abang sudah berangkat?” tanya Yulius di telepon.
Saya bilang masih di penginapan di Menia (jaraknya sekita 7 kilometer dari Seba). “Saya segera jalan,” jawab saya.
“Kayaknya tinggal Abang nih yang ditunggu...” katanya lagi.
Maka, saya langsung menghidupkan motor menuju Seba. Saya berpikir, saya benar-benar telat dan setelah saya masuk kapal, kapal langsung berangkat. Namun ternyata tidak. Yulius yang sudah berada di kapal juga bilang kalau biasanya jam 12.00 kapal langsung berangkat.
Mungkin ada lagi yang ditunggu...” kata Yulius lagi.
Kapal akhirnya berangkat hampir pukul 13.00 setelah beberapa orang naik. Saya duduk di bangku paling belakang dek bawah, dengan harapan bisa tidur. Yulius berada tiga bangku di depan saya. Dia ngobrol dengan beberapa temannya yang juga berangkat ke Raijua. Sayangnya saya tak bisa memejamkan mata meskipun sebenarnya sangat ngantuk, haus, dan lapar. Tapi, puasa Ramadan memang membuat kita harus berusaha menahan segalanya.
Kapal melaju tidak terlalu kencang. Rutenya tak jauh dari kawasan pantai Pulau Sabu yang terlihat di sebelah kiri. Gelombang juga tak terlalu tinggi. Tapi kadang kapal juga terasa naik-turun meski dalam tensi yang tak terlalu keras. Saya membuka jendela. Seketika angin laut masuk dan cipratan air laut juga masuk ke dalam. Di kejauhan terlihat laut biru hingga batas cakrawala. Ketika kapal memasuki Selat Raijua –laut pemisah antara Pulau Sabu dan Pulau Raijua— baru terasa gelombang agak lumayan tinggi.