JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lambat menindaklanjuti operasi tangkap tangan (OTT) Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada Rabu (8/1). Hal itu berbeda dengan penanganan perkara OTT Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
Hingga kemarin (12/1), belum ada upaya lanjutan seperti penggeledahan dalam kasus OTT komisioner KPU terkait dengan pergantian antarwaktu (PAW) anggota legislatif PDIP. Di sisi lain, dalam kasus Bupati Sidoarjo, penyidik KPK tiga hari berturut-turut melakukan penggeledahan. Padahal, dua OTT tersebut hanya berselang kurang dari 24 jam.
Pegiat antikorupsi dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menyatakan, ada perbedaan yang kentara dalam dua kasus OTT yang ditangani KPK tersebut. Menurut dia, kasus Bupati Sidoarjo terus berkembang, sedangkan kasus komisioner KPU terkesan mandek.
"Ini menunjukkan bahwa dalam proses kasus KPU dan politisi PDIP, KPK mendapat hadangan dan perlawanan," ungkapnya kemarin.
Sebagaimana diwartakan, kasus komisioner KPU ditengarai turut menyeret Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Nama Hasto muncul dari pernyataan Saeful Bahri, tersangka perantara suap, saat digiring menuju tahanan Jumat dini hari (10/1). Dia menyebutkan bahwa uang suap bersumber dari Hasto. Donal menambahkan, hingga saat ini juga belum terjawab perihal penghadangan tim KPK di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Saat itu dikabarkan, KPK tengah mengikuti Hasto. Alih-alih menemukan Hasto, tim KPK malah dicegah petugas di PTIK.
Donal menyayangkan peran Ketua KPK Firli Bahuri yang bahkan hampir tidak terlihat untuk menjelaskan gerak lambat lembaga antirasuah itu.
"Masalahnya, ketua KPK juga seolah raib. Sebagai polisi aktif, kan semestinya dia yang menyelesaikan masalah ini," tegasnya.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW lainnya, mengungkapkan, KPK terbukti lambat dalam menangani kasus suap komisioner KPU ketika berhadapan dengan partai. Sikap tersebut dipengaruhi pasal 37B ayat (1) UU KPK yang baru. Yakni, penggeledahan harus seizin dewan pengawas. Berbeda dengan aturan lama yang membolehkan penggeledahan dilakukan tanpa izin pihak mana pun, apalagi jika bersifat mendesak.
Persoalan kedua, kata dia, adalah indikasi upaya menghalang-halangi ketika proses penggeledahan maupun pemasangan KPK line. Kurnia menjelaskan, UU 31/1999 juncto UU 20/2001 tentang Tipikor mengatur ancaman pidana bagi pihak yang kedapatan melakukan upaya menghalang-halangi (obstruction of justice).
"KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice bagi pihak-pihak yang menghambat atau menghalang-halangi proses hukum," tegas Kurnia.
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril meminta KPK terbuka ihwal tindak lanjut OTT yang terlambat. Apakah karena terhambat izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK atau justru pimpinan KPK yang telat meminta izin. Sesuai dengan UU 19/2019 tentang KPK, Dewas KPK dibatasi waktu untuk menentukan permohonan izin penggeledahan diterima atau tidak. "Dewas itu terbatas, 1 x 24 jam harus merespons, memberikan izin atau menolak," paparnya kemarin.
Izin penggeledahan, lanjut Oce, harus diajukan pimpinan KPK. Karena itu, patut dipertanyakan apabila yang lambat bergerak adalah pimpinan KPK. "Jadi, kalau pengajuan izinnya lama dari pimpinan, kesalahan ada di pimpinan," ujarnya.
Dia menegaskan, semua pihak di KPK semestinya mengerti bahwa penggeledahan dan penyitaan merupakan dua hal penting dalam penindakan kasus korupsi. Apalagi dalam kasus yang dimulai lewat OTT. KPK harus bergerak cepat dan cermat. Menurut Oce, tidak ada alasan untuk menunda atau mengundur penggeledahan. "Penggeledahan dan penyitaan itu sangat berguna bagi pembuktian sebuah perkara," katanya.
"Kalau diundur-undur, tentu bisa saja barang buktinya hilang," tambahnya.
Selain itu, menunda atau mengulur waktu bisa termasuk kategori menghalang-halangi upaya penegakan hukum. Dewas KPK melanggar hukum apabila melakukan itu. Sementara itu, bila keterlambatan ada pada pimpinan KPK, kata Oce, perlu dilakukan pemeriksaan internal. Sebab, itu termasuk salah satu tindakan melanggar etik. "Itu (pelanggaran etik) kategori berat," ungkapnya.
Dia menegaskan, sebagai penegak hukum, KPK harus memiliki standar baku. Dengan demikian, tidak muncul perbedaan perlakuan atas perkara yang satu dan perkara lainnya. ’’Dalam kasus KPU, kasusnya WS (Wahyu Setiawan, red), sepertinya ada kendala untuk geledah dan sita,’’ ujarnya.
Kondisi itu, menurut Oce, membuktikan bahwa UU KPK saat ini memang bisa melemahkan. Sistem izin kepada dewas yang diatur dalam UU tersebut membuka celah. "Kalau UU baru tidak mengenal izin-izin itu, tidak terjadi yang namanya dugaan permainan seperti ini," tegasnya.
Sementara itu, Juru Bicara (Jubir) KPK Ali Fikri enggan menanggapi perbedaan penanganan dua kasus OTT tersebut. Dia hanya menyatakan bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dewas KPK.
"Beberapa izin untuk kebutuhan penggeledahan juga sudah ditandatangani dewas setelah sejumlah kelengkapan administrasi terpenuhi," katanya.
Izin penggeledahan untuk kasus KPU turun pada Jumat malam (10/1). Ali memerinci pelaksanaan penggeledahan dan lokasinya. Dia belum bisa menyampaikan informasi detail lantaran penanganan kasus masih berjalan. Dia hanya menegaskan bahwa KPK bersama dewas selalu bekerja sama.
"Prinsipnya, tim penindakan KPK bersama dewas saling menguatkan dengan fungsi masing-masing dalam penanganan perkara ini," ujarnya.
Selain upaya penggeledahan, KPK meminta tersangka pemberi suap, Harus Masiku, bersikap kooperatif. KPK meminta tersangka segera menyerahkan diri. Pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara juga diharapkan bersikap kooperatif.
"Ketika keterangannya diperlukan penyidik dalam memproses perkara ini," ucapnya.
Mengenai rencana KPK memeriksa Hasto, Ali tidak menjawab dengan tegas. "Tentu siapa pun nanti dipanggil sebagai saksi untuk melengkapi pasal sangkaan dan seluruh rangkaian perbuatan para tersangka," katanya diplomatis.
Hasto Siap ke KPK
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan kesiapannya jika dipanggil KPK. "Saya akan datang. Itu merupakan bagian dari tanggung jawab warga negara," tegasnya di sela-sela acara Rakernas I PDIP di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran kemarin.
Pria asal Jogjakarta itu menuturkan, setiap warga negara harus menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali. Pihaknya juga mendukung KPK dalam mengusut tuntas kasus suap PAW anggota DPR tersebut. Menurut Hasto, dalam kasus tersebut, PDIP menjadi korban framing. Dia mengungkapkan, PAW merupakan persoalan sederhana dan biasa dilakukan partai. Pergantian anggota DPR merupakan kedaulatan partai dan secara jelas diatur dalam undang-undang. Tidak ada satu pun pihak, baik partai politik maupun KPU, yang bisa menegosiasikan hukum positif tersebut.
Dengan demikian, lanjut Hasto, ketika ada pihak-pihak yang berusaha melakukan komersialisasi legalitas PAW berdasar putusan hasil uji materi ke MA dan fatwa MA, pihak tersebut telah menyalahgunakan kekuasaan. Mantan anggota DPR itu menyatakan, jika ada pihak yang melalukan negosiasi soal PAW, itu bukan tanggung jawab PDIP. "Partai akan memberikan tindakan sesuai dengan instruksi ketua umum dan peraturan partai," tegasnya. (deb/lum/syn/byu/c5/fal/jpg/yus)