JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kinerja anggaran tahun ini dihadapkan pada kondisi yang amat berat. Betapa tidak, baru enam bulan saja (Januari-Juli 2020), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah defisit Rp330,2 triliun atau 2,01 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Bahkan, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, angka itu melonjak hingga 79,5 persen. Pada Juli 2019, defisit APBN hanya Rp183,9 triliun atau mencapai 1,16 persen dari PDB. Penyebab besarnya defisit APBN tahun ini tentu saja tekanan pandemi Covid-19 yang menekan penerimaan anggaran.
"Kalau kita lihat APBN kita, penerimaan mengalami tekanan, belanja naik akibat Covid-19. Sehingga ini memberikan dampak ke APBN akan sangat besar. Defisit 2 persen dari GDP kita, sampai akhir tahun diestimasi 6,34 persen dari GDP," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melalui virtual conference di Jakarta, kemarin (25/8).
Ani menyebut, realisasi penerimaan negara tak sebanding dengan belanja. Pendapatan negara hanya mencapai Rp922,2 triliun. Sementara, posisi belanja negara meningkat mencapai Rp1.252,4 triliun seiring dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu memerinci, dari sisi pendapatan negara yang mencapai Rp922,2 triliun itu berasal dari pajak sebesar Rp711 triliun, PNBP Rp208,8 triliun, serta hibah sebesar Rp2,5 triliun.
Sementara, untuk belanja negara yang mencapai Rp1.254,4 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat yang terdiri dari kementerian/lembaga (K/L) dan belanja non K/L sebesar Rp 793,6 triliun, dan realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sebesar Rp458,8 triliun. Dengan realisasi tersebut, maka defisit APBN 2020 hingga Juli 2020 tercatat 2,01 persen atau setara Rp330,2 triliun terhadap PDB. Adapun dalam Perpres 72 Tahun 2020, defisit APBN diizinkan hingga mencapai Rp1.039,2 triliun atau sekitar 6 persen.
"Ini lebih dalam dari yang kami perkirakan dan ini adalah sesuatu yang harus kita perhatikan dari sisi faktor-faktor penerimaan pajak tersebut," tutur Ani.
Dihadapkan pada kondisi defisit itu, legislatif menilai bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan target pertumbuhan ekonomi pada RAPBN 2021 terlalu tinggi. Anggota Komisi XI DPR RI Jon Erizal menyatakan bahwa pertumbuhan yang ditarget hingga 4,5 persen itu tidak realistis. Menurut catatan DPR, Komisi XI dan pemerintah sepakat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,3 persen. Tetapi realisasinya hanya 5,01 persen. Apalagi 2020 ini perekonomian terpuruk karena adanya pandemi dan menimbulkan defisit. Meskipun bisa rebound, namun angka 4,5 persen masih dianggap bakal terlalu sulit dicapai.
"Untuk meningkatkan 0,2 saja di kondisi normal, itu sulit. Kalau ada kenaikan 4,5 persen dari -3,5 persen itu kan sesuatu yang mustahil," jelas Jon, Selasa (25/8).
Jon mengakui bahwa benar jika ada anggapan perekonomian akan mengalami rebound cukup signifikan setelah pandemi. Atau mengalami kurva V. Namun dengan catatan bahwa negara tersebut menangani pandemi dengan cermat dan maksimal. Sementara, menurut Jon, yang terjadi di Indonesia saat ini masih lamban dan jauh dari ideal.
Target menaikkan pertumbuhan ekonomi hingga ke angka 4,5 persen boleh dianggap sebagai optimisme yang baik. Namun, Jon menegaskan optimistis itu juga harus ditarik ke arah yang realistis.
"Karena itu kita ambil langkah yang moderat menurut kita, maksimum 2 persen. Itu pun menurut kita sudah jauh melampaui kondisi yang ada," lanjut Jon.
Ketika terjadi defisit seperti ini, Jon menjelaskan salah satu cara yang diambil adalah pembiayaan dari Bank Indonesia. Namun, melihat kondisi yang cukup parah akibat pandemi ini, DPR memberi masukan agar pembiayaan defisit tidak dilakukan secara masif oleh BI saja. Melainkan memberi peluang bagi pasar terlebih dahulu.(dee/deb/jpg)