JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Mengakhiri perjalanan negosiasi minggu pertama forum Bonn Climate Change Conference (BCCC), Delegasi Indonesia melakukan pertemuan bilateral dengan Delegasi Australia serta perwakilan UN-REDD. Pertemuan bilateral tersebut untuk mempertajam hasil capaian kerjasama bilateral Indonesia dengan negara sahabat dan organisasi internasional yang mendukung Indonesia dalam pencapaian Target NDC.
Pertemuan Bilateral dilakukan Head of Delegation Indonesia (HoD), Ruandha Agung Sugardiman didampingi oleh Direktur IGRK DJPPI, Joko Prihatno dan Direktur Mobilisasi Sumberdaya Sektoral dan Regional, Wahyu Marjaka. Adapun Delegasi Australia dipimpin oleh H.E. Patrick Suckling (Ambassador for The Environment) yang didampingi oleh Mrs. Gaia Puleston, Director International Negotiations, Department of the Environment and Energy.
Beberapa topik pembicaraan pertemuan bilateral antara lain diskusi mengenai pandangan Australia dan Indonesia terkait dengan alotnya negosiasi artikel 6 untuk memastikan Paris Agreement dapat dilaksanakan dengan baik. Menurut H.E Patrick, apabila negosiasi dan keputusan artikel 6 tersebut tidak dapat diselesaikan sebelum tahun 2020 akan menjadi ganjalan para anggota di COP25 Santiago de Chile akhir tahun 2019. Hal tersebut dapat menjadikan pasar bebas akan menentukan jalannya sendiri dan menjadi hal yang sangat krusial dan belum bisa diprediksi oleh negara-negara anggota.
Hal lain yang menjadi perhatian Indonesia dan Australia adalah pendanaan UNFCCC. Menurut Ruandha, pendanaan harus seimbang antara mitigasi dan adaptasi. Selama ini pendanaan untuk mitigasi lebih dominan dibandingkan untuk adaptasi perubahan iklim. Padahal, ke depan adaptasi perubahan iklim menjadi satu hal yang sangat penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang semakin nyata.
Senada dengan Ruandha, H.E. Patrick Suckling menyoroti ketidakseimbangan antara pendanaan utama dan pendanaan tambahan dimana pertumbuhan dana tambahan berjalan jauh lebih cepat dibandingkan dengan dana utama. Ini akan berakibat terhadap mekanisme finansial di UNFCCC semakin sulit. Negara-negara donor mengharapkan adanya penguatan di dana utama.
Hal lain dan menjadi penting untuk hubungan bilateral Indonesia-Australia menjelang COP25 Santiago de Chile, kedua belah pihak sepakat untuk meningkatkan dan memperluas kerjasama di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim. Penguatan kerjasama akan dibentuk dalam payung MOU terkait isu-isu lahan gambut, karbon biru dan kelautan.
Pertemuan bilateral lainnya juga dilakukan oleh Delegasi Indonesia dengan lembaga internasional yaitu UN-REDD Program. Mewakili UN-REDD Program adalah Tim Clairs, Principal Policy and Technical Advisor, serta Kin Yii Long, Stakeholder Engagement Specialist UN-REDD Program.
Pertemuan bilateral tersebut untuk menindaklanjuti kerjasama UN-REDD Result Base Payment (RBP) yang akan diterapkan di Indonesia. Hal ini merupakan penajaman Program REDD RBP yang sudah berlangsung di Indonesia di wilayah Kalimantan Timur dan Propinsi Jambi. Kerjasama ini merupakan langkah dan bukti nyata kepercayaan internasional atas komitmen Indonesia dalam penurunan dan pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK) melalui mekanisme RBP. Menurut Ruandha, dunia saat ini berpaling ke Indonesia setelah melihat kinerja RBP Brasil tidak sesuai dengan apa yang mereka sampaikan ke UNFCCC khususnya konsistensi capaian pengendalian GRK.
Ruandha menyampaikan, moment pertemuan bilateral ini sangat baik untuk Indonesia sebagai bukti bahwa Indonesia memerankan peran kunci dalam pengendalian GRK global khususnya di sektor lahan. Skema REDD+ RBP Indonesia rencananya akan diajukan dengan dukungan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF) yang saat ini sedang dalam proses pendalaman substansi.
Selain berbagai capaian negosiasi dalam forum BCCC, Ruandha juga diminta oleh Radio Duetche Welle seksi Bonn untuk peliputan substansi Indonesia di BCCC. Publikasi internasional tersebut disiarkan secara resmi ke wilayah Jerman, India dan Bangladesh. Paling tidak, 10% cakupan area di wilayah tersebut secara serentak mendengarkan berita dan pernyataan Ruandha di Radio Deutche Welle.
Terkait isu strategis Indonesia, Deutche Welle menanyakan sejauh mana kebijakan di sektor tata guna lahan dan energi bisa berkontribusi pada pemenuhan target pemerintah dalam penurunan emisi GRK. Pertanyaan lainnya terkait strategi pemerintah memenuhi kebutuhan energi masa depan tanpa menambah produksi GRK, serta seberapa cepat Indonesia membangun perekonomian Hijau jika pondasi perekonomian Indonesia masih berbasis pada sumber daya alam.
Dalam pernyataannya di Radio Deucthe Welle, Ruandha menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah sangat signifikan dalam moratorium ijin-ijin baru di lahan hutan primer dan hutan gambut. Hal tersebut dapat dilihat dengan kontribusi hutan primer dan hutan gambut dalam penyerapan emisi GRK. Di sektor energi, Ruandha menyampaikan rencana strategis pemanfaatan sumber daya energi baru terbarukan berbasis lahan, dimana pohon-pohon yang ditanam memiliki potensi sumber daya energi baru terbarukan berbasis lahan.
Dalam pencapaian penurunan emisi GRK 29% Bussiness as Usual tahun 2030, Pemerintah Indonesia melakukan itervensi besar-besaran dengan menyiapkan anggaran pemerintah. Misalnya pada tahun 2019 ini, Ruandha menyatakan, bahwa 70% anggaran belanja KLHK dialokasikan untuk intervensi kebijakan penurunan emisi GRK melalui program penanaman dan rehabilitasi lahan yang terdegradasi. Itu merupakan upaya nyata pemerintah Jokowi dalam pengendalian emisi gas rumah kaca.
Menyoroti strategi pembangunan perekonomian hijau, Ruandha menekankan bahwa pemerintah lebih mensinergikan program pembangunan yang ada untuk mencapai pembangunan perekonomian hijau. Bappenas telah meluncurkan apa yang disebut Low Carbon Development Initiative sampai tahun 2045. Dengan rencana ini, Pemerintah Indonesia yakin dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang signifikan sekaligus menjaga emisi GRK tetap rendah sehingga perekonomian hijau dapat dilaksanakan di Indonesia.(ADV)