JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 74, pertemuan para pihak yang ke 18, Conference of the Parties to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES CoP18) yakni konferensi global yang mengatur perdagangan tumbuhan dan satwa liar, resmi dibuka di Jenewa – Swiss, (17/8/2019)
Menyambut perayaan hari kemerdekaan tersebut, maka pada hari pertama CoP18 CITES, Indonesia menjadi tuan rumah side event yang mengusung tema "Indonesia’s Conservation Initiatives: Curbing Illegal Wildlife Trade and Strengthening Legal Market System". Side event ini bertujuan menyampaikan upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam konservasi tumbuhan dan satwa liar (TSL) melalui, penguatan kebijakan dan sistem perdagangan legal yang berkelanjutan sesuai dengan konvensi CITES.
"Side event ini merupakan kelanjutan dari upaya Indonesia untuk mempromosikan konservasi Indonesia, setelah pemerintah Indonesia (Cq. KLHK) melakukan hal yang sama pada Trondheim Conference on Biodiversity", ujar Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDA KLHK, Indra Eksploitasia.
Side event diikuti lebih dari 150 orang yang memadati ruang F di Palexpo, Geneva tersebut. Acara ini diselenggarakan secara kolaborasi antara KLHK sebagai Management Authority CITES dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), LIPI, WCS Indonesia Program, Forum Gajah Indonesia, Rangkong Indonesia, Centre for Orangutan Protection Indonesia, FFI Indonesia Program, Himpunan Asosiasi Pengusaha Flora Fauna Indonesia (HAPFFI).
Duta Besar Hasan Kleib, Perwakilan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) UN, WTO dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa, dalam pidato pembukaannya menyampaikan bahwa perdagangan ilegal satwa liar merupakan tantangan global yang membutuhkan perhatian yang sangat serius. Hal ini dikarenakan perdagangan ilegal menimbulkan ancaman serius terhadap penurunan spesies dan kerusakan ekosistem serta pemiskinan masyarakat lokal, sehingga tidak hanya menjadi isu konservasi namun juga multidimensi yang sangat kompleks. “Kolaborasi adalah kunci untuk memperkuat dan mempercepat tindakan menghadapi tantangan perdagangan ilegal satwa liar yang terus berkembang” pungkasnya.(ADV)