Ikan kayangan di Tapung Kanan ini bahkan dijaga sedemikian rupa. Ia termasuk kelompok ikan larangan yang tidak boleh diburu sembarangan. Tidak boleh menangkap ikan indukan atau dewasa. Jika tertangkap, harus dikembalikan ke habitatnya. Tidak boleh juga menuba. Ada sanksi adat yang menunggu. Kendati sudah dijaga sedemikian rupa, ikan kayangan di sini akhirnya punah juga. Tidak karena tuba, melainkan diduga kuat akibat limbah pabrik kelapa sawit.
Selamatkan Habitat Tersisa
Habitat ikan dan satwa lainnya di Danau Zamrud secara umum dinilai masih cukup terjaga. Makanya, penyelamatan terhadap tutupan hutan dan habitat Taman Nasional Zamrud (TNZ) ini menjadi isu strategis yang harus diperhatikan untuk menyelamatkan flora dan fauna endemik. Termasuk arwana. Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Sembiring menyebut, saat ini TNZ termasuk ekosistem gambut terluas di Riau. Makanya, penyelamatan tidak hanya satu, melainkan harus tiga aspek sekaligus, yakni komunitas lokal (masyarakat asli), habitat, serta fauna dan flora endemik.
“Kami masih menemukan adanya eksploitasi dan aksi ilegal di sana,” ujar Boy.
Menyangkut kelangkaan arwana di kawasan ini, dia menyebut beberapa kemungkinan. Pertama, adanya aktivitas ilegal, baik pembalakan liar atau pun penangkapan satwa liar dilindungi. Aktivitas itu dipastikan mengganggu kehidupan satwa liar, termasuk arwana. Kedua, pada zona penyangga (buffer zone) TNZ terdapat lahan konsesi yang merupakan pintu masuk (open acces) dan menyebabkan aksi ilegal perburuan liar bisa terjadi lewat jalur ini. Selain perburuan liar, aktivitas pencemaran, baik sengaja atau tidak, bisa jadi akan menyebabkan satwa liar menghindar atau bahkan perlahan punah. Perlu ada identifikasi ulang terhadap aktivitas di dalam TNZ. Sebab, selain masyarakat sekitar, ada juga akses beberapa perusahaan yang masuk ke sana. Aktivitas pencemaran bisa pula terjadi dari pupuk hutan tanaman industri (HTI) atau perkebunan sawit yang bersempadan dengan TNZ.
Secara terpisah, Direktur Yayasan Elang, Janes menyebut, memang terdapat laporan adanya penangkapan arwana karena bernilai ekonomi tinggi. Tapi setelah status kawasan ini berubah dari suaka margasatwa menjadi taman nasional, masyarakat setempat dilibatkan menjaga kawasan. Menurutnya ini positif. Walaupun demikian, aksi ilegal tetap ada kendati tidak sebanyak sebelumnya. Terkait berkurangnya arwana di Danau Zamrud, menurutnya diperlukan penelitian. Selain aksi ilegal pengambilan satwa di sana, pencemaran juga mungkin bisa jadi penyebab.
“Tapi perlu penelitian lagi. Apa sesungguhnya yang terjadi,” ujar Janes.
Hanya Boleh Komersialkan Cucu
Kelangkaan arwana di alam liar diakui pihak BBKSDA Riau karena beberapa faktor. Tapi belum ada penelitian yang spesifik terkait hal itu. Makanya, untuk beberapa habitat alaminya, BBKSDA Riau telah melakukan restocking atau pelepasliaran arwana. Hal itu pernah dilakukan di Danau Zamrud pada 2016 sebanyak 56 ekor.
Plt Kabid Wilayah II BBKSDA Riau, Hartono menyebut, pihaknya menyadari minat masyarakat yang tinggi pada arwana. Ikan dari “surga” itu dikagumi karena keindahannya dan menjadi koleksi di akuarium banyak rumah. Tapi, menjaga habitat asli ikan endemik Riau ini juga sangat penting. Makanya, solusi pemerintah adalah dengan membuat aturan penangkaran.
“Memang arwana termasuk ikan yang bisa dikomersialkan. Namun yang di alam liar tentu dilarang,” ujar Hartono.
Ada dua strategi yang dilakukan BBKSDA Riau untuk menjaga kelestarian arwana. Pertama, menjaga habitat aslinya dari perburuan dengan melibatkan masyarakat setempat. Termasuk di Danau Zamrud. Yang kedua, berusaha menjaga populasi dengan melakukan restocking. Di sisi lain, masyarakat hanya boleh memelihara arwana hasil penangkaran. Saat ini sudah ada 21 penangkaran ikan arwana di Riau yang memang beroperasi secara legal. Hal itu berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH dan Ekosistem. Juga aturan turunannya, yakni Permenhut P.19 tahun 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dan Permen LHK No 03 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jadi arwana yang boleh dipelihara masyarakat itu hanya cucunya atau istilahnya F2. Adapun indukan dan anaknya tidak boleh dipelihara masyarakat dan tidak boleh dikomersialkan,” ujar Hartono.
Ikan arwana dari alam atau indukan diistilahkan dengan F0. Sedangkan anaknya disebut F1. Keduanya tidak boleh diperjualbelikan. Mereka hanya menjadi stok dan kemungkinan akan dikembalikan ke habitatnya. Termasuk 56 ekor indukan arwana yang pernah dilepasliarkan di Danau Zamrud pada 2016 lalu.
Terkait berkurangnya populasi arwana di Danau Zamrud, menurutnya perlu ditelusuri lagi. Tapi laporan itu memang ada. Salah satunya karena perburuan liar, kendati sekarang sudah jauh berkurang karena pihaknya melibatkan masyarakat sekitar untuk menjaga.
“Strategi melibatkan masyarakat setempat untuk menjaga kawasan ini cukup efektif. Mereka serius membantu BBKSDA,” ujar Hartono.
Mengenai kemungkinan pencemaran yang menyebabkan kelangkaan arwana, menurutnya diperlukan penelitian yang menyeluruh dan intensif. Tapi paling tidak, pihak BBKSDA selalu mengecek pH air pada Danau Zamrud untuk mengetahui seberapa layak air itu dihuni ikan. Penelitian dan pengambilan sampel dilakukan bersama Dinas Perikanan Kabupaten Siak dan P3E Wilayah Sumatera. Hasilnya, pH air normal dan layak untuk kehidupan ikan.
“Baru tiga atau empat pekan lalu kami ambil sampelnya,” ujar Hartono.
Adapun spekulasi arwana dimangsa predator lainnya, menurutnya ada kemungkinan. Arwana sendiri merupakan ikan predator, tapi bukanlah predator puncak. Ada juga predator lainnya yang juga endemik Danau Zamrud, di antaranya tapah, toman, dan buaya.
“Mungkin saja. Tapi perlu penelitian lagi,” ujarnya.
Ditambahkan Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau M Mahfud, di Danau Zamrud memang terdapat beberapa predator besar, misalnya buaya. Tapi buaya di sana adalah buaya muara, bukan buaya senyulong yang memang khusus memangsa ikan. Jadi, kemungkinan arwana punah karena dimangsa buaya atau predator puncak lainnya masih merupakan spekulasi.
Bahkan terkait berkurangnya populasi arwana akibat perburuan, pihaknya belum mendapatkan laporan konkret. Nelayan tradisional memang biasa menjaring atau menangkap ikan, jenis baung, toman, atau tapah. Tapi tidak ada laporan soal perburuan arwana.
“Kalau cerita di masyarakat mungkin saja. Tapi petugas kami belum mendapatkan laporan,” ujar Mahfud.
Kendati demikian, dia tidak tahu persis populasi arwana di Danau Zamrud. Ikan ini hidup berkelompok dan memburu ikan-ikan kecil. Adapun terkait laporan masyarakat yang tak lagi melihat arwana dalam beberapa waktu terakhir, belum bisa dipastikan ikan ini punah. Apalagi, Danau Zamrud ini luas sekali, dan ikan ini bisa menyebar serta berkembang di bagian mana saja. Adapun terkait restocking yang dilakukan, bukan berarti karena ikan ini sudah tidak ada. Sudah merupakan kewajiban penangkar untuk mengembalikan ikan yang ditangkar ke tempat asalnya.
Penangkaran arwana di Riau sudah berlangsung cukup lama, yakni tahun 1990. Ikan arwana pertama yang diambil untuk ditangkar berasal dari Mahato, Rokan Hulu. Penangkar pertama di Riau adalah PT Salma yang melakukan penangkaran di Muara Fajar, Pekanbaru. Hingga saat ini, penangkaran arwana masih dilakukan perusahaan ini. Selain dari Mahato, asal indukan arwana berasal dari Pujud, Rokan Hilir dan Danau Zamrud, Siak. Indukan arwana itu sudah berkembang jauh lebih banyak saat ini, dan ditangkarkan oleh 21 penangkar, kebanyakan di Pekanbaru. Selain di Palas, ada juga di Garuda Sakti. Selain itu, ada juga penangkar yang beroperasi di Pujud.
“Nah, indukan awal itu yang harus dikembalikan ke habitatnya. Jadi F0 dan F1 (induk dan anak) memang harus dikembalikan. Rencananya akan kita restocking tempo hari waktu kedatangan Bu Menteri, tapi tidak jadi. Ada 75 ekor indukan yang sudah disiapkan. Rencananya nanti 2022 kami lepas di Zamrud," ujarnya.
Di semua kawasan endemik arwana, hanya ada satu jenis yakni Golden Red. Itulah arwana endemik Riau. Tapi di penangkaran, kini hampir semua jenis sudah ada. Ikan-ikan itu didatangkan dari daerah lain, bahkan dari luar negeri. Misalnya Super Red adalah endemik Kalimantan Barat, Banjar Red dari Kalimantan Selatan, dan Silver Red dari Jambi. Semuanya sudah ada di penangkaran di Riau.
Pasang Microchip
Semua ikan arwana yang sudah melalui penangkaran telah dipasang microchip. Dengan demikian, maka penjualan ikan arwana yang beredar di masyarakat dipastikan sudah menggunakan microchip dan bisa diketahui asal keturunan atau nenek moyangnya.
“Jadi kalau ada penjualan dari alam liar saat ini akan mudah diketahui. Ada microchip atau tidak? Kalau tidak ada berarti ilegal," ujarnya.