OLEH DESSY WAHYUNI

Sastra Koran

Seni Budaya | Minggu, 29 November 2015 - 00:47 WIB

Sastra Koran

Publikasi karya sastra  melalui koran sudah sangat     lama terjadi di Indonesia. Hampir semua sastrawan Indonesia memanfaatkan koran sebagai media untuk ā€œmengiklankanā€ karya (dan nama) mereka kepada publik. Sebut saja Seno Gumira Ajidarma, Yanusa Nugroho, Taufik Ikram Jamil, Nurzain Hae, Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, dan Fakhrunnas M.A. Jabbar (tentu masih ada sederetan nama lainnya). Berkat karya-karya korannya, nama mereka pun menjulang cakrawala.

Melalui salah satu tulisannya, ā€œEvolusi, ā€˜Genreā€™ dan Realitas Sastra Koranā€, Ahmadun Yosi Herfanda menengarai bahwa sastra koran di Indonesia menemukan oasenya pada dekade ā€™70-an dan ā€™80-an. Ketika itu, karena rubrik-rubrik sastra menjamur di hampir semua surat kabar (seperti Suara Karya, Berita Buana, Kompas, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, dan Media Indonesia), lahirlah nama-nama besar, seperti Sutardji Calzuom Bachri, Abdul Hadi W.M., Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan Linus Suryadi A.G.

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Harus diakui bahwa sastra koran memiliki keterbatasan-keterbatasan. Di samping keterbatasan ruang dan waktu (karena sifat koran: terbatas dan sementara), sastra koran juga memiliki keterbatasan ide (karena harus menyesuaikan dengan selera redaktur, yang bisa jadi tidak berlatar belakang sastra). Mungkin hal seperti itulah yang membuat Katrin Bandel (pengamat sastra Indonesia di Universitas Hamburg, Jerman itu) terheran-heran atas fenomena sastra koran di Indonesia. Menurutnya, fungsi halaman sastra di Indonesia agak ā€œluar biasaā€ karena menyeleweng dari peran koran pada umumnya: sebagai media informasi di berbagai bidang untuk orang awam. Sementara itu, di Indonesia koran justru menjadi media komunikasi antarorang sastra dan sekaligus menjadi media utama untuk menyosialisasikan karya-karyanya.

Keheranan Katrin Bandel atas fenomena sastra koran di Indonesia seperti itu tentu dapat dimaklumi. Di Jerman, budaya baca masyarakatnya sudah tinggi sehingga tidaklah mengherankan jika buku sudah menjadi bacaan utama. Bagaimana di Indonesia? Sudah menjadi rahasia umum, buku jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak) dibaca. Mungkin, itulah sebabnya koran masih menjadi primadona bagi penulis-penulis Indonesia untuk memublikasikan karyanya.

Dalam kenyataannya, kehadiran sastra koran telah membuka jalan bagi para penulis untuk lebih bersemangat menuangkan ide-ide imajinya. Hal itu tentu didorong oleh keinginan agar karyanya bisa dinikmati oleh para pembaca. Pada umumnya, mereka menyadari betul bahwa sebuah karya (sastra) akan bermakna jika tidak mendapat apresiasi masyarakat. Sebagus dan sehebat apa pun karya (sastra) itu, jika tidak dipublikasikan, tidak ada artinya. Oleh karena itu, idealnya seorang penulis memiliki ruang publik untuk menginternalisasikan karya-karyanya. Salah satu ruang publik itu adalah koran.

Para penulis (sastra koran) sebenarnya tidak perlu khawatir mengirimkan karyanya ke koran. Meskipun harus menyesuaikan dengan selera redaktur, karya yang baik tetap akan terjaga kualitasnya. Belakangan ini beberapa koran telah berupaya membukukan karya-karya yang pernah dimuatnya. Kompas, misalnya, bahkan telah menerbitkan karya-karya sastra pilihannya (dalam bentuk buku) setiap tahun. Media cetak nasional yang menyapa pembaca melalui tradisi pemuatan cerpen setiap Minggu sejak 1967 ini telah menerbitkan antologi cerpen pilihan Kompas mulai 1992. Nama-nama seperti Jujur Prananto, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Putu Wijaya, B.M. Syamsuddin, Yanusa Nugroho, dll. tercatat sebagai penulis cerpen yang dimuat dalam buku setebal 170 halaman berjudul Kado Istimewa: Cerpen Pilihan Kompas 1992 (Jakarta: Kompas, 1992) tersebut. Pada 2014, bahkan 24 cerpen terpilih dimuat dalam Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Pohon: Cerpen Pilihan Kompas 2014. Ini merupakan jumlah terbanyak untuk isi sebuah buku antologi cerpen pilihan Kompas sejak 1992 tersebut.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook