Hal yang sama juga dilakukan Riau Pos. Surat kabar ternama di Riau itu, melalui Yayasan Sagang telah menerbitkan karya-karya pilihannya (berupa cerpen, puisi, esai, bahkan karya jurnalistik) dalam bentuk antologi setiap tahunnya. Anugerah Sagang 2000: Kumpulan Cerpen, Sajak, dan Esai Riau Pos 2000 merupakan kumpulan karya sastra pertama yang dibukukan. Sejak 2000 hingga 2006, cerpen, sajak, dan esai masih terangkum dalam satu buku (terkadang buku yang diterbitkan hanya memuat cerpen saja). Akan tetapi, mulai 2007, cerpen, puisi, esai, bahkan karya jurnalistik telah terangkum pada masing-masing buku yang berbeda, yakni: Keranda Jenazah Ayah (Kumpulan Cerpen Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); Komposisi Sunyi (Kumpulan Puisi Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); Krisis Sastra Riau (Kumpulan Esai Riau Pos, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007); serta Dari Belaras ke Semenanjung (Kumpulan Karya Jurnalistik Rida Award, Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007). Hingga kini, Yayasan Sagang selalu menerbitkan buku kumpulan tersebut secara ajek.
Upaya penerbitan buku, sebenarnya, juga dapat dilakukan oleh penulis sendiri. Penulis yang aktif dan produktif bisa mengumpulkan karya-karyanya yang pernah dimuat di (berbagai) koran, lalu menerbitkannya menjadi sebuah buku kumpulan/antologi. Hal seperti itu pernah dilakukan cerpenis Benny Arnas dan Yetti A.KA. Kedua penulis itu mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah dimuat di koran, lalu menerbitkannya dalam sebuah antologi: Benny Arnas menghasilkan Jatuh dari Cinta (Bandung: Grafindo, 2011), sedangkan Yetti A.KA menghasilkan Satu Hari Bukan di Hari Minggu (Yogyakarta: Gress Publishing, 2011).
Begitu pula yang dilakukan Dr. Junaidi dan Agus Sri Danardana. Keduanya mengumpulkan esai-esai sastranya yang pernah dimuat di koran, lalu menerbitkannya dalam sebuah antologi: Dr. Junaidi menerbitkan Interpretasi Dunia Sastra (berisi 11 esai analisis sastra dan 7 esai gagasan bahasa-sastra, Pekanbaru: Palagan Press, 2009), sedangkan Agus Sri Danardana menerbitkan Pelangi Sastra: Ulasan dan Model-model Apresiasi (Pekanbaru: Palagan Press, 2013).
Senyatanyalah, kehadiran koran telah berandil dalam membesarkan nama penulis. Koran tidak hanya menjadi media praktis pemuatan karya, tetapi juga menjadi media strategis perawatan eksistensi penulis/sastrawan. Sekalipun bukan satu-satunya wadah sastra, di Indonesia, koran masih menjadi pilihan utama penulis untuk memublikasikan karya-karyanya. Bravo sastra koran.***