OLEH IMELDA YANCE

Bukan Lelang Jabatan

Seni Budaya | Minggu, 17 Januari 2016 - 01:31 WIB

Bagi sebagian masyarakat Indonesia di kampung-kam­pung kata itu lebih akrab apa­bila disandingkan dengan kata kue. Lelang kue sebenarnya merupakan acara peng­ga­la­ngan dana (yang biasa dise­talikan dengan beragam ke­giatan lain terutama dalam rangka perayaan HUT RI/Agus­tusan. Sebuah kue dipe­rebutkan penonton/penawar (bidder) sebagai tawaran (bid). Mereka menawarnya secara atas-mengatasi (inilah salah satu keseruannya karena me­nimbulkan keakraban dan kejenakaan). Pemenang (pe­milik kue) adalah orang/pihak yang menjadi penawar ter­tinggi. Demikian pula yang terjadi pada lelang yang se­pertinya cukup akrab dengan masyarakat Indonesia: mulai dari lelang mobil, lelang ru­mah, lelang lukisan, lelang pakaian, lelang emas, lelang berlian, hingga lelang ikan.

Pemahaman lelang se­ma­cam itu yang sepertinya men­jadikan istilah lelang jabatan ditolak banyak orang. Erry Riyana Hardjapamekas, Ketua Tim Independen Reformasi Birorasi, (mantan pimpinan KPK) misalnya, berucap bahwa istilah lelang jabatan “seakan mempertegas persepsi publik bahwa jabatan itu diperjual­belikan” (Prabawa, 2015).

Penolakan terhadap istilah itu sepertinya juga didasari oleh adanya asosiasi yang melekat pada kata lelang. Orang beranggapan bahwa (barang) yang dilelang merupakan stok lama, tidak laku, ada kecacatan, dijual murah, tergadai, dan/atau adanya uang hipotek (lelang tertentu) yang harus disetor ke panitia lelang sebagai salah satu persyaratan untuk bisa ikut serta. Inilah mungkin yang dimaksudkan bahwa lelang jabatan berkonotasi negatif oleh Erry. Padahal, lelang ter­buka yang dimaksudkan Jo­kowi itu merupakan me­ka­nisme penempatan se­se­orang dalam jabatan ter­tentu yang dilakukan melalui serangkaian seleksi yang bersifat terbuka, objektif, transparan, prose­dural, dan profesional.

Setali tiga uang dengan lelang jabatan, ada pula yang menyebutnya dengan job tender. Ada pula yang me­nye­butnya open biding ‘pena­waran terbuka’, dan seleksi ja­batan secara terbuka. Erry merasa istilah promosi terbuka (open promotion) lebih sesuai secara konseptual. Kalau di­cermati, kata itu pun tidak menyalahi salah satu makna (promosi) yang tercantum da­lam kamus bahasa Indonsia (KBBI, 2008), yaitu “kenaikan pangkat (tingkat); naik pangkat (tingkat).”

Dibandingkan dengan bentuk open biding ‘pe­na­waran terbuka’ pun pro­mosi terbuka lebih tepat. Wa­laupun kedua bentuk itu berasal dari bahasa Inggris (promotion dan biding), tetapi bentuk promotion telah di­indonesiakan men­jadi pro­mosi, sedangkan biding belum. Dari segi pe­makaian, promosi telah akrab dengan masyarakat Indonesia daripada biding. Dari sisi ke­ekonomisan, bentuk pro­mosi terbuka pun unggul di­bandingkan bentuk seleksi jabatan secara terbuka. Sim­pulannya, istilah promosi terbuka lebih tepat secara kon­septual, ringkas, dan tidak berkonotasi negatif.

Dengan demikian, mari kita martabatkan salah satu mekanisme dalam de­mo­krasi di negara kita sekaligus para peserta dan pemenang promosi terbuka  dengan pe­makaian istilah yang ber­martabat pula: promosi ter­buka bukan lelang ja­batan. Selamat berbahasa Indonesia.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook