Bagi sebagian masyarakat Indonesia di kampung-kampung kata itu lebih akrab apabila disandingkan dengan kata kue. Lelang kue sebenarnya merupakan acara penggalangan dana (yang biasa disetalikan dengan beragam kegiatan lain terutama dalam rangka perayaan HUT RI/Agustusan. Sebuah kue diperebutkan penonton/penawar (bidder) sebagai tawaran (bid). Mereka menawarnya secara atas-mengatasi (inilah salah satu keseruannya karena menimbulkan keakraban dan kejenakaan). Pemenang (pemilik kue) adalah orang/pihak yang menjadi penawar tertinggi. Demikian pula yang terjadi pada lelang yang sepertinya cukup akrab dengan masyarakat Indonesia: mulai dari lelang mobil, lelang rumah, lelang lukisan, lelang pakaian, lelang emas, lelang berlian, hingga lelang ikan.
Pemahaman lelang semacam itu yang sepertinya menjadikan istilah lelang jabatan ditolak banyak orang. Erry Riyana Hardjapamekas, Ketua Tim Independen Reformasi Birorasi, (mantan pimpinan KPK) misalnya, berucap bahwa istilah lelang jabatan “seakan mempertegas persepsi publik bahwa jabatan itu diperjualbelikan” (Prabawa, 2015).
Penolakan terhadap istilah itu sepertinya juga didasari oleh adanya asosiasi yang melekat pada kata lelang. Orang beranggapan bahwa (barang) yang dilelang merupakan stok lama, tidak laku, ada kecacatan, dijual murah, tergadai, dan/atau adanya uang hipotek (lelang tertentu) yang harus disetor ke panitia lelang sebagai salah satu persyaratan untuk bisa ikut serta. Inilah mungkin yang dimaksudkan bahwa lelang jabatan berkonotasi negatif oleh Erry. Padahal, lelang terbuka yang dimaksudkan Jokowi itu merupakan mekanisme penempatan seseorang dalam jabatan tertentu yang dilakukan melalui serangkaian seleksi yang bersifat terbuka, objektif, transparan, prosedural, dan profesional.
Setali tiga uang dengan lelang jabatan, ada pula yang menyebutnya dengan job tender. Ada pula yang menyebutnya open biding ‘penawaran terbuka’, dan seleksi jabatan secara terbuka. Erry merasa istilah promosi terbuka (open promotion) lebih sesuai secara konseptual. Kalau dicermati, kata itu pun tidak menyalahi salah satu makna (promosi) yang tercantum dalam kamus bahasa Indonsia (KBBI, 2008), yaitu “kenaikan pangkat (tingkat); naik pangkat (tingkat).”
Dibandingkan dengan bentuk open biding ‘penawaran terbuka’ pun promosi terbuka lebih tepat. Walaupun kedua bentuk itu berasal dari bahasa Inggris (promotion dan biding), tetapi bentuk promotion telah diindonesiakan menjadi promosi, sedangkan biding belum. Dari segi pemakaian, promosi telah akrab dengan masyarakat Indonesia daripada biding. Dari sisi keekonomisan, bentuk promosi terbuka pun unggul dibandingkan bentuk seleksi jabatan secara terbuka. Simpulannya, istilah promosi terbuka lebih tepat secara konseptual, ringkas, dan tidak berkonotasi negatif.
Dengan demikian, mari kita martabatkan salah satu mekanisme dalam demokrasi di negara kita sekaligus para peserta dan pemenang promosi terbuka dengan pemakaian istilah yang bermartabat pula: promosi terbuka bukan lelang jabatan. Selamat berbahasa Indonesia.***