Atas dasar itu, penamaan rupabumi berstruktur MD dan berunsur asing, seperti Perkasa Alam Sport Hall, Panam Square, Pepito Restaurant, Eka Hospital, Ami Raya Residence, Marcopolo Hotel, Prigel Salon, Kartini Mall, Jakarta Convention Centre, Atrium Shopping Centre, dan Wijaya Centre harus diubah, misalnya, menjadi Gelanggang Olahraga Perkasa Alam, Plaza Panam, Restoran Pepito, Rumah Sakit Eka, Permukiman Ami Raya, Hotel Marcopolo, Salon Prigel, Mal Kartini, Balai Pertemuan Jakarta, Pusat Belanja Atrium, dan Pusat (Usaha) Wijaya.
Bagaimana dengan unsur (bahasa) daerah? Nama rupabumi berbahasa daerah tidak perlu diterjemahkan. Di samping sering tidak bersesuaian maknanya, penerjemahan juga dapat menghilangkan kekhasan suatu daerah. Kata koto (yang diindonesiakan menjadi kota itu), misalnya, ternyata tidak sama artinya dengan pengertian kota sekarang ini. Oleh karena itu, nama-nama rupabumi khas daerah, seperti Muaro, Biaro, dan Simpangampek (di Sumatra Barat); Anyer, Pakulonan, dan Kebonpete (di Banten); Mulyoagung dan Balerejo (di Jawa Timur); serta Dusuntua, Kampungbaru, dan Empangpandan (di Riau) tidak perlu diindonesikan menjadi Muara, Biara, Simpangempat, Anyar, Pe(r)kulonan, Kebunpetai, Muliaagung, Balaireja, Desatua, Desabaru, dan Paritpandan.
Begitulah, dalam upaya penyeragaman nama-nama rupabumi, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan: (1) pemanfaatan kata umum bahasa Indonesia dan/atau daerah; (2) penerjemahan nama asing; serta (3) penulisannya. Artinya, nama-nama rupabumi sedapat mungkin diambil dari bahasa Indonesia dan/atau daerah. Jika tidak memungkinkan, barulah dicarikan dalam bahasa asing melalui pemadanan dengan cara penyerapan, penerjemahan, atau gabungan penerjemahan dan penyerapan, seperti supermarket menjadi pasar swalayan, skyscrape menjadi pencakar langit (menara), department store menjadi toko serba ada (toserba, pasaraya), photocopy menjadi fotokopi, villa menjadi vila, dan bungalow menjadi bungalow.***
AGUS SRI DANARDANA, Kepala Balai Bahasa Provinsi Riau