Api tentu tak mau dipersalahkan. Kepada ummat manusia: janganlah pernah menjadi serakah, hidupmu di dunia hanya sementara, tak ada gunanya kau menjarah harta, dalam akhirat hanya amal yang akan kau bawa, ibadah yang mampu menyelamatkan nyawa –Api (hlm. 100). Pesan api ini tentu untuk semua manusia yang ada di bumi ini. Betapa manusia telah diciptakan dengan amat sempurna, diutus ke muka bumi untuk menjadi khalifah (pemimpin makhluk). Akan tetapi, kenapa manusia justru merusak bumi dan dengan kesadarannya telah menyakiti makhluk lainnya?
Karya sastra sebagai cerminan (budaya) masyarakat di tempat karya itu muncul, terlihat jelas dalam cerpen “Keluh Kesah” ini. Cerpen ini telah mewakili kondisi masyarakat Riau yang porak poranda karena asap. Asap yang telah berbulan-bulan menetap di Bumi Lancang Kuning ini tidak saja telah menghancurkan kesehatan masyarakatnya, tetapi juga menghancurkan pendidikan dan perekonomian masyarakat Riau.
Rasakan, manusia! Rasakan kerakusanmu, ketamakan, dan kebodohanmu mengejar dunia! Inilah keserakahanmu pada alam! Yang di Atas murka! Aku murka! (hlm. 102). Hanya karena keserakahan segelintir orang, ribuan manusia lainnya harus merasakan dampaknya. Tentu hal tersebut sangat tidak adil. Akan tetapi, masihkah ada keadilan di muka bumi ini selama penguasanya tidak berpihak pada rakyat? Negeri Asap, inilah kisah dan deritamu.***
Marlina, Pengkaji sastra di Balai Bahasa Provinsi Riau.