Namun, perbuatan penuh muslihat itu sendiri seperti sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini dan bukan hanya dilakukan oleh kalangan preman saja (ingat, kata preman pun sebenarnya sudah mengalami banyak perubahan). Di mana-mana kita dapat menemukan perilaku penuh tipu-daya itu, mulai dari yang muncul dengan teknik yang sangat halus, sampai yang kasar penuh jumawa. Mulai dari polisi yang “bersembunyi” di balik rambu jalan yang tertutup dedaunan kayu, senyum para tersangka/terdakwa korupsi, silat-lidah para politikus, sale up to 70% + 20%, sampai ke “menggoreng” bursa saham. Orang-orang yang pesimis mungkin akan menganggap kita semua sudah tenggelam dalam banjir tipu muslihat.
Menjelang reformasi dulu, ketika istilah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) naik daun, penulis selalu merasakan istilah itu sebenarnya kurang menggambarkan persoalan bangsa kita yang sebenarnya. Penulis selalu merasa ada satu istilah yang cukup untuk menggambarkan semua itu, yaitu manipulasi dalam pengertian yang negatif. Sayangnya, pengertian ini kurang tertampung di dalam KBBI. Dalam Kamus Inggris–Indonesia (1988) manipulation jelas-jelas bermakna negatif; dan to manipulate biasanya bermakna melakukan tipu-daya. Dengan perkembangan kata muslihat ini agaknya lebih tepat dan lebih asali untuk menyandang makna manipulation dalam kehidupan kebangsaan kita.
Dengan segala uraian di atas, tokoh Muslihat di dalam sinetron itu nampaknya tidak merasa risih sedikit pun dengan nama yang disandangnya. Anehnya, dengan penuh muslihat pula, ia selalu enggan untuk menyebutkan nama Pipit yang merupakan nama panggilan Firman Safitra (di Sunda, f menjadi p), salah seorang anggotanya. Agaknya karena kata “pipit” di tengah masyarakat secara konotatif juga bermakna.***
Gde Agung Lontar, sastrawan.