oleh bambang karyawan
Aku lelaki. Tapi aku tak peduli dengan makna kejantanan. Tak penting bicara maskulin. Tak perlu bicara kegagahan. Bagiku menampilkan sebuah totalitas dalam berperan adalah sebuah keharusan. Tampil sebagai bujang gadi menuntut kemampuan seni peranku. Berperan dalam sebuah rangkaian randai. Tradisi berseni peran yang merakyat namun tak kalah hebatnya juga bila tampil di gedung teater yang megah. Setiap tubuh ini bergerak, selalu saja menimbulkan jejak mata. Mata ini meresapi setiap gesekan piual biola, hendakan gondang dan tiupan lapri serunai. Menghirup nada-nada harmoni sebagai pembangkit rasa percaya diri untuk tampil seutuhnya.
“Apa kau menikmati menjadi bujang gadi?”
Pertanyaan yang sering kudengar dari teman atau penonton yang melihat totalitas penampilanku.
“Menikmati?” Ada dua kutub yang saling tarik dalam partikel diriku, antara mengiyakan atau menidakkan. Akupun tak berani menjawab. Seiring waktu akupun menjadi ragu dengan pilihanku.
“Sudahlah tuh asyik aja menjadi bujang gadi, lama-lama hilang kejantanan kau tuh!” Orang-orang di sekitarku menyudutkan dan memberi stigma bahwa menjadi bujang gadi tak ada gunanya.
Namun pilihan atas kesukaan itu semakin merasuk dan turut mengalir energinya ke dalam aliran tubuhku. Apalagi ketika tepukan tangan dan tawa penonton menyambut penampilan lucuku. Persebatian kebiasaan dan kenikmatan menjalani peran membuat aliran darahku tarik ulur. Tarik ulur untuk bersikap jantan atau keperempuanan menjalani peran sebagai bujang gadi.
Kebaya, kain panjang, rok, gaun, dan selendang yang sering menemaniku berperan selalu kuhirup aromanya. Aroma yang mampu menjalari seruput darah yang tak mampu kutahan desir nikmatnya.
Energi sensasi itu semakin meningkat saat aku dan kawan-kawan membentuk lingkaran dengan saling mengelilingi. Berjoget saling mendendangkan senandung-senandung Melayu. Senandung berpantun yang memiliki makna mengakar ke bumi Randai ini.