Kenikmatan
yang kujalani menjadi menguap ketika menjalani realitas kehidupan. Gamang ingin
menikmati sensasi itu kembali setiap selesai berandai. Apakah aku putuskan saja untuk menjadi bujang
gadi yang sebenarnya bukan sementara dan sesaat. Dalam
kamar sunyiku, aku pandangi kebaya, kain panjang, rok, gaun, dan selendang yang
bisa kupakai untuk mentas Randai. Tangan kujulur untuk kuletakkan di tempat
tidurku. Kupakai semua itu dengan rasa yang beda. Kupandangi diri ini di depan
cermin yang kusam. “Cantik
…” Ucapan spontan yang keluar dari mulut lelakiku. Mulut
lelaki yang biasanya bernada tenor kini kurasa perlahan berubah menjadi sopran.
Kubelai kebaya yang kukenakan dengan segenap hati. Kunikmati sedalam hati.
Bisakah kenikmatan ini kulanjutkan? “Bisa
…” suara bernada kombinasi tenor dan sopran menyebar di sudut dinding papan tua
rumahku. Terkejut
aku dengan bayangan dalam cermin mengatakan itu. Kucari sumber suara. Kosong.
Hanya dinding rumah berpapan dan cermin kusam yang dingin. Entah gelisah, entah
takut. Kularutkan dalam tidur. Tidur lelap yang menggelegakkan perlawanan
hormon kelelakianku dan hormon imajinasiku. Tidur yang terasa panjang karena
endapan pikiran berkecamuk dengan pergulatan hormon. Sepanjang
hari bersama waktu dan teman-teman sepergaulan yang biasanya kujalani dengan
biasa, kali ini terasa ada aroma lain. Aroma yang menggiringku menjadi seperti
perempuan. Sebuah
ucap istighfar keluar dari mulut dustaku. Antara takut dan nafsu menarik
lintasan niat-niatku. Pementasan Randai kembali mengundang kelompok kami. Aku
diminta kembali menjadi bujang gadi. “Kali
ini kita benar-benar harus maksimal. Ini penampilan penghormatan karena
petinggi di daerah ini hadir,” ujar pelatih gerak sekaligus sutradara sanggar
randai kami. Aku diingatkan untuk tampil seperti penampilan sebelum-sebelumnya.