CERITA PENDEK

Bujang Gadi

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 01:30 WIB

“Ingat,  bujang gadi adalah salah satu kunci randai kita!” Pujian itu membuatku semakin mengokohkan keyakinan akan pilihanku. Untuk tampil maksimal kali ini, selain malam minggu, aku bersama teman-teman menambah malam latihan di tengah lapangan ditemani bulan separuh.

Tinggi la Bukik si Batu Rijal

Tompek Batanam Si Sudu-sudu

Abang Kan Poi Adiak Kan Tinggal

Bajawek Solam Kito dahulu

Itulah  salah satu pantun  handalan sanggar kami yang bercerita tentang Ali Baba dan Fatimah Kayo. Akulah yang dituntut menghidupkan suasana gelak penonton. Kuselalu mengeluarkan segenap hati dan rasa agar ada aura alami dalam setiap penampilanku.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Ya. Ini pilihan terbaik. Aku akan terus menjalani hidup sebagai bujang gadi dengan sepenuh hati. Kembali malam-malam jantan kulalui, bujang gadi dalam randai menjadi primadona panggung. Elu-eluan untuk penampilanku tak habis dilontarkan sampai keesokan harinya. Apalagi ketika penonton menanti-nanti sindiran-sindiran apa yang akan kulontarkan dengan kelucuan yang alami. Namun ternyata ada seseorang yang dengan suara batin terlembutnya menolak pilihanku menjadi seorang bujang gadi. Ya, hanya suara batin, bukan suara berkata-kata penolakannya. Dia adalah emakku.

“Bicaralah mak, mengapa hanya diam selalu. Bujang perlu penjelasan dengan kata-kata, mengapa setiap bujang bermain randai, emak selalu terlihat tak suka.” Emak tetap diam.

“Sampai kapan mak, nak diamkan Bujang macam nih. Bujang tak ngerti salahnya dimana bila mak mendiamkan  seperti ini?”

“Baik ... Mak hanya bisa bilang. Emak tak suka Bujang berandai dengan berlebihan. Mak malu, banyak yang membicarakan Bujang tuh laki-laki atau perempuan?” Jawaban emak membuatku semakin mengecil dan menyudut di pojok terdalam. Suara-suara batin terdalam memintaku untuk menutup telinga atas ucapan emak. Durhaka? Entahlah!









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook