Yang Sunyi di Hulu Subayang

Seni Budaya | Minggu, 26 September 2021 - 10:10 WIB

Yang Sunyi di Hulu Subayang
Panuk bersama pengurus IATTA Riau di Rumah Sompu Desa Pangkalan Serai. (IATTA FOR RIAU POS)

TAK seperti dulu. Suara itu yang tinggal hanya sunyi. Tak lagi di panggung-panggung yang ramai, tapi hanya di tepi-tepi sungai.

(RIAUPOS.CO) - NAMANYA Panuk (48). Satu-satunya pemain rebab yang tinggal di hulu Sungai Subayang, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar. Bahkan satu-satunya di Kabupaten Kampar. Sebelum pandemi, Panuk sering keluar kampong, diundang di berbagai acara bahkan pertunjukan budaya. Kini, panuk hanya memainkan di kampung saja, atau ketika kawan-kawannya datang ke rumahnya dan ingin mendengarkan suara rebab itu. Sungguh yang tinggal hanya sunyi.


Beberapa waktu lalu, Riau Pos menyambangi Panuk di rumahnya; kampung paling ujung di hulu Subayang itu. Riau Pos tidak sendiri, melainkan bersama penggiat wisata petualang Riau atau Indonesia Adventure Travel Trade  Association (IATTA) Provinsi Riau. Bersama pengurus IATTA ini, Riau Pos tiba di Pangkalan Serai. Untuk sampai ke rumahnya, memerlukan waktu sekitar 4 jam dengan lewat jalur sungai atau naik piaw (perahu mesin). Beruntung karena air sungai sedang bisa bersahabat. Jika tidak, perjalanan bisa 6 jam.

Ini kali kedua Panuk ke rumahnya. Ia tak lagi tinggal di rumah kayu, persis di samping jembatang gantung. Tapi sudah pindah ke bukit, lebih tinggi dan di rumah batu. Rumah itu ukuran 6x6 meter, bantuan pemerintah.

Dengan senang hati Panuk memainkan rebabnya. Tidak di rumah, tapi di tepi sungai, dekat pelabuhan di pangkal kampong atau lebih dekat dengan rumahnya. Sambil memainkan rebab, panuk menyenandungkan lagu dengan bahasa lokal yang sulit difahami. Tapi itulah Panuk. Ia tetap bermain rebab dan memelihara bahasa ibunya lewat lagu. Isinya tentang kecintaan pada kampong halaman dan keluarga.

Kata Panuk, memainkan rebab, cukup sulit. Jarang yang bisa memainkannya. Jarang pula yang mau mempelajarinya. Meski sering dialunkan dalam pesta-pesta kecil di perkampungan, terutama sebelum pandemi, pemain rabab tetap terancam terputus di tengah zaman.

Alunan rabab semakin berirama ketika ditambah abuhan kompang. Begitulah saat Panuk mengisi acara seperti pesta perkawinan. Ia ditemani rekannya Khalid. Semakin kencang kompang ditabuh, semakin keras suara Khalid. Timpal menimpal, isi mengisi, syair dinyanyikan, terus hingga ke pagi dalam sebuah pesta. Rabab menjadi musik tradisi yang masih asyik dinikmati.

Desa Pangkalan serai sendiri berbatas langsung dengan Sumbar,  selain Desa Pangkalan Kapas di Kampar dan Pangkalan Indarung di Kuantan Singingi tentunya.Rabab yang dimainkan Panuk memang rabab Minangkabau. Lagu yang dilantunkan juga berbahasa Minang. Wajar, karena dulunya kawasan Sungai Subayang merupakan kawasan Sumbar yang saat ini menjadi daerah perbatasan antara Riau dan Sumbar.

Meski belum terlalu tua, tapi tidak ada yang lain selain Panuk yang pandai memainkan rabab di desa itu. Begitu juga dengan pelantun syair. Khalid sudah berusia lanjut. Tapi suaranya masih merdu. Tidak ada selain Khalid yang mau bersyair atau berlagu dengan iringan rabab. Sebenarnya bukan tidak ada, tapi tidak ada yang mau belajar. Begitu kata Panuk. Panuk sendiri, sebetulnya pandai melantunkan syair. Tapi dalam sebuah pertunjukan saat memenuhi undangan, Khalid yang selalu bersyair. Panuk khusus bermain rabab.

Sebagai alat musik tradisional, rabab masih sangat lekat di hati masyarakat. Apalagi ditambah lagu yang diiringinya. Ditambah isi-isi lagu yang kadang sangat lucu dan menghibur. Sederhana. Hanya cerita atau dongeng tentang kebiasaan dan tradisi masyarakat kampung. Tentang bagaimana menjaring ikan, memasak, pergi bekerja, menakik getah, mengambil air ke sungai

Panuk mengaku sangat sulit mencari generasi penerus pemain rebab. Tidak ada yang mau belajar. Katanya sulit, susah, rumit dan macam-macam. Begitu juga dengan pelantun syair atau lagu. Khalid sudah melagu sejak puluhan tahun. Lagu yang dibawakan juga itu-itu saja: nada yang sama meski kadang isinya beda. Nyanyian yang dilantunkan dengan bahasa Minang itu memang menjadi ciri khas Pangkalan Serai, bahkan Kampardan sebagainya. Kadang juga berisi petuah dan nasehat tentang keharusan sebagai warga kampung dan bagaimana menjaga kampung. Tapi lebih banyak hiburan. Tak heran jika rabab sering dimainkan hingga pagi saat ada helat atau pesta perkawinan atau sunatan di Desa Pangkalan Serai itu.

Rabab adalah alat musik tradisional Minangkabau yang mirip dengan biola. Dikatakan mirip karena dari segi bentuk memang hampir sama dan cara memainkannya pun sama yaitu dengan digesek dan ada alat penggeseknya. Rabab selain menjadi alat musik juga menjadi kesenian tersendiri. Dua aliran rabab yang cukup terkenal adalah Rabab Pasisia dan Rabab Pariaman.

Meskipun rebab memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sebuah lagu, namun tidak banyak orang yang tertarik dan biasa memainkannya apalagi di kalangan kaum muda. Untuk itu sudah saatnya rebab memiliki kedudukan yang penting dalam sebuah lagu dan dalam perkembangan musik tradisional di Indonesia.Kiri. Sebetulnya sudah ada yang berniat belajar baik memainkan rebab ataupun melantunkan lagu. Tapi sekedar belajar. Sekali dua kali, lalu berhenti dan tak mau lagi. Mungkin rebab ini dinilai kuno. Apalagi kalau melihat bentuk alat musiknya, buruk dan jauh dari kekinian.

Entah berapa usia rebab Panuk itu, yang jelas puluhan tahun. Sejak kecil ia sudah mempelajari dari keluarganya. Sering memainkan, kemudian menjadi lihai dan pandai. Lalu menjadi hobi dan seni yang diminati. Panuk mengaku, kalau ada yang mau belajar, dia siap untuk mengajarkan. Tapi tak ada yang mau. Anakanak muda di kampungnya menganggap rabab jadul.

Senang Dikunjungi IATTA
Panuk juga mengaku senang setiap ada tamu yang datang ke desanya. Tidak malu apalagi segan, dia memainkan rebab itu. Panuk juga pandai bermain seruling. Hal ini membuat teman-temannya yang datang merasa senang. Ramah dan akrab pula. Seadanya dan dengan apa adanya, ia tidak segan mengajak rekan-rekannya yang datang untuk makan di rumahnya. Diminta mengajarkan bagaimana memakai letagh (pengikat kepala khas bagi lelaki di desa tersebut juga, ia tidak keberatan.

Itulah Panuk. Senang pula bercerita tentang sejarah kampung, adat budaya dan tradisi yang ada di sana. Ia pula mengajak pengurus IATTA keliling kampung dan melihat rumah sompu yang sudah berusisa hampir seratus tahun. Rumah ini berada di tengah desa tersebut. Masih ada dua rumah. Tapi sudah kosong dan hampir rubuh karena dimakan usia. Panuk, sangat menyayangkan jika rumah tersebut harus runtuh.

Zainul Ikhwan, Ketua IATTA Riau bersama rekan-rekannya senang bisa sampai bertemu Panuk dan mendengarkan rebab yang dimainkannya di tepi sungai. Apalagi setelah menempuh jalur sungai yang berjeram berjeram, penuh batu dan sangat menantang. Baginya, Subayang  merupakan potensi wisata petualang yang sangat luar biasa. Apalagi wisata petualang itu tidak lepas dari kekayaan alam dan budaya serta kearifan lokal masyarakatnya.***


Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook