KOLOM ALINEA GDE AGUNG LONTAR

Muslihat

Seni Budaya | Minggu, 25 Oktober 2015 - 00:04 WIB

Di salah satu stasiun televisi, Ramadan yang lalu, sinetron Preman Pensiun 2 ditayangkan setiap harinya. Bahkan sinetron ini tetap tayang sesudah Ramadan berlalu karena masyarakat menyukainya. Di dalam sinetron ini, para preman digambarkan secara berbeda dari preman pada umumnya.

Ada hal yang menarik berkenaan dengan nama tokoh Muslihat, salah seorang bos preman di dalam sinetron tersebut. Bukankah nama seperti itu tergolong janggal untuk digunakan? Hal ini agaknya salah satu gimmick pihak penyelenggara sinetron (yang bahkan mungkin tanpa mereka sadari).

Baca Juga :Balai Bahasa Provinsi Riau Ingin Terus Berkolaborasi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2002) menjelaskan lema muslihat dalam dua makna: 1) daya upaya; 2) siasat atau taktik (untuk menjebak dsb.). Masalahnya, di tengah-tengah masyarakat, pengertian kata muslihat yang paling terkenal adalah serupa dengan ‘tipu daya’. Dengan demikian, terlihat bahwa makna kata muslihat berubah dari berkonotasi positif, “netral”, dan kemudian negatif. Perubahan demikian dalam semantik disebut sebagai pergeseran makna.

Perubahan makna sebuah kata dalam suatu bahasa adalah hal yang lumrah terjadi, terutama bila bahasa itu hidup dan berkembang di dalam masyarakatnya. Bahkan barangkali hampir setiap kata yang kita kenal sekarang ini sebenarnya sudah mengalami perubahan dari makna asalinya, terutama kata-kata yang berasal dari unsur serapan. Sebagai sebuah bahasa yang hidup dan berkembang, hal demikian nyaris merupakan keniscayaan; sebagaimana benda hidup lainnya. Bila tidak demikian, maka ada kemungkinan bahasa itu sedang menuju kepunahan.

Pada awalnya, kata pena bermakna ‘selembar bulu angsa’, tetapi sekarang menjadi ‘alat tulis bertinta’. Sekarang ketika orang menceritakan seseorang yang sedang menulis dengan pena dalam pengertian awalnya, lucunya mereka justru menulisnya dengan istilah ‘pena bulu’ atau ‘bulu angsa’ saja. Demikian pula dengan kata sarjana yang pada awalnya bermakna orang cerdik-pandai atau cendekiawan, tetapi sekarang sekadar ‘seseorang yang sudah berhasil mendapatkan ijazah dari lembaga perguruan tinggi’, tak peduli lagi dia berwatak cendekiawan atau tidak. Bahkan kata “kata” sendiri menurut Alif Danya Munsyi (1996) juga sudah mengalami perubahan, dari yang sekadar nomina, juga menjadi verba.

Berkaitan dengan kata muslihat, kata tersebut sudah mengalami perluasan makna. Menurut Abdul Chaer (2002), perubahan (rasa bahasa) yang terjadi dari bernilai positif/tinggi menjadi negatif/rendah seperti ini digolongkan bersifat peyoratif (sebaliknya: amelioratif). Dalam berbahasa, perubahan demikian diperbolehkan.

Di tengah-tengah masyarakat ada juga kata-kata yang mengalami perubahan/pembalikan makna 180 derajat, meskipun perilaku itu umumnya baru sebatas ragam lisan (KBBI masih mempertahankan makna asalinya). Kata-kata itu juga banyak berkaitan dengan kata tak untuk menyatakan oposisinya, dan umumnya kita mengenalnya sebagai peristiwa salah kaprah (anehnya frasa salah kaprah ini tak ada di KBBI 2002, tapi sudah ada di KBBI daring). Sebagai contoh, masyarakat juga kerap keliru dengan kata usah yang bermakna ‘tak perlu’, dan tak bergeming yang bermakna ‘tak bergerak’. Kekeliruan seperti ini juga ditemukan pada banyak lirik lagu, bahkan yang dikarang musisi berpendidikan sekalipun. Sayangnya, Abdul Chaer tidak mengulas fenomena unik ini. Kalau dalam ilmu logika, persoalan ini mungkin dapat digolongkan sebagai permasalahan inversi –walaupun mungkin terlalu keren– karena mungkin saja hal ini hanya sekadar kecenderungan untuk efisiensi (malas?) dalam berbahasa (dengan mengabaikan tak), nyatanya tak bergeming juga muncul.

Persoalan dengan kata muslihat sendiri barangkali sejajar dengan kata-kata laki, bini, jamban, catut, makelar, songkok, salam, kafir, lonte, dll.; dengan berbagai nuansanya (kata nuansa sendiri sebenarnya mengalami perubahan makna yang unik). Kata-kata tersebut mengalami perubahan yang bersifat peyoratif. Agaknya, stasiun televisi itu dengan penuh muslihat berhasil memanfaatkan suasana bulan Ramadan, cengengesan Kang Komar, dan wafatnya sang maestro Didi Petet untuk membuat sinetron itu kian digandrungi. Syukurlah di dalam sinetron itu semua preman ingin insaf.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook