SEBELUM duduk manis di bangku sekolah, melahap ilmu beserta bumbu-bumbu pelengkapnya berupa berbagai macam aroma PR dan tugas, tak pernah telinga ini menyantap satu kosakata ajaib yang begitu merdu menelisik hingga gendang telinga. Saking merdunya, kosakata ini selalu mengetuk pintu rumah mimpiku untuk mengajakku bermain ke dunia baru. Kosakata itu adalah.... ayah.
Benar. Sudah kucari ke setiap penjuru rumah, namun tak ada seraut wajah pun yang sesuai dengan definisi ayah menurut teman-temanku di sekolah. Yang ada hanyalah raut wajah ibu. Bukan hanya seraut, tetapi dua raut wajah ibu. Sepasang ibu. Mereka kupanggil mama dan ibu.
Dulu, tak pernah ada sepenggal aneh pun yang terbit di lubuk hati tentang semua ini. Baru setelah mengenal kosakata ‘rahim’, timbullah pendar-pendar tanya di dalam kepalaku tentang rahim siapa yang pernah memukimkan tubuhku, mama atau ibu? Mereka berdua tak jemu meyakinkanku kalau mereka berdua adalah ibuku. Ah, manalah mungkin aku bisa tumbuh di rahim yang berbeda, atau gantian misal seminggu sekali atau sebulan sekali.
“Lihat, mata kita sama persis kan?” Mama mengajakku sama-sama mengerjapkan mata sambil melihat ke arah cermin ketika ia menyisir rambutku.
“Lihat, lesung pipi kita sama kan?” Ibu mengajakku sama-sama tersenyum sambil melihat ke arah cermin ketika ia membedaki wajahku.
Tapi, aku merasa kalau aku tak mirip keduanya. Mataku biru. Sedangkan mama biru karena softlens. Dua lesung bermukim di pipiku. Sedangkan ibu hanya satu. Itu pun baru-baru ini, setelah diolah oleh dokter kecantikan.
***