Kadang, aku merasa bangga memiliki sepasang ibu. Tak pernah kuhiraukan lagi cerita teman-temanku tentang sebuah keluarga utuh yang harus ditempati raut wajah ayah di dalamnya. Buktinya, cerita tersebut hanya isapan jempol belaka karena pada hari-hari berikutnya mereka bercerita tentang ayah mereka yang kerap berlaku kasar kepada mereka dan ibu mereka, tentang ayah mereka yang selalu pulang larut malam dan tak sedikit pun memiliki waktu bermain dengan mereka, atau tentang ayah mereka yang kerap membawa perempuan lain kerumah dan membuat ibu mereka memintal tangis di dalam kamar semalam suntuk. Jelas, hal ini membuat banggaku yang memiliki sepasang ibu semakin meninggi. Mama dan ibu tak pernah lupa sepenggal pun keperluan sekolah dan hidupku. Mereka berdua selalu ada menemani hari-hariku. Aku selalu melantunkan bahak ketika bermain dengan mereka.
Bangga pun menjelma menjadi kagum kala para tetangga menceritakan perihal ketangguhan mama dan ibu. Kata mereka, entah dibuat dari apa hati ibu; mungkin tercipta dari sekerat hati malaikat, walau belum tentu malaikat memiliki hati. Mengapa demikian? Karena kata mereka ibu seharusnya mengusir mama dari rumah sepeninggal ayah karena tanpa mengurai izin, ayah meminang Mama. Bukan hanya meminang, tapi membawa mama dan tinggal serumah dengan ibu.
Setidaknya setelah mendengar cerita para tetangga, hatiku merasa tenang karena raut wajah ayah pernah bermukim di rumah. Aku tak lagi merasa gusar tiap kali teman-temanku bertanya tentang ayah. Akan kuceritakan kepada teman-temanku perihal ayahku yang ternyata pernah ada di rumah. Tapi, kemana kini ayah? Jawaban ini ternyata kudapati dari para tetangga suatu saat kelak.
Namun itu dulu, ya dulu sekali aku merasa bangga kepada ibu dan mama, ketika usiaku masih berjalan di angka satu digit. Masa usia di mana aku belum bisa membedakan potongan-potongan rasa. Seperti apa bentuk rasa kepada teman, saudara, kekasih, suami, istri atau selain dari itu. Seperti apa rasa yang wajar dan yang janggal. Rasa bangga yang menjelma menjadi kagum itu pun musnah seketika kala aku tahu semuanya, kala mereka tak bisa lagi memainkan pertunjukan sandiwara di depanku.
Kala itu senja sudah dilumat malam. Hening sudah menampakkan wajah di tubuh hari. Sepenggal desah lahir di dinding kamar mereka. Malam itu pikiranku menerawang ke segala penjuru masa lalu. Bagaimana aku tak menyadari kalau semenjak usia sekolah pra-SD aku tidak lagi tidur bertiga dengan mereka, sedangkan mama dan ibu masih tidur di kamar yang sama.