Hal ini terus menghantui kepalaku. Walau sebenarnya aku ingin mengetahui yang sebenarnya, tapi ada keingingan yang jauh lebih besar; aku ingin keluar dari rumah ini, aku harus mencari jalan agar tak terpenjara di rumah ini. Tak ingin mata ini terlalu lama menyaksikan kemesraan ganjil yang selalu terekam mata setiap hari. Aku tak ingin seperti mereka; memiliki perasaan dingin kepada lelaki.
Kepalaku berpikir keras untuk membuktikan diri kalau aku perempuan biasa, tak sejiwa dengan mereka. Hingga akhirnya, aku membunuh karakter pemaluku yang telah melekat di tubuh, kuberanikan untuk mendekati makhluk bernama lelaki.
“Apa kau rasakan ada getar di sini?” kuletakkan telapak tangan Rio di dadaku.
“Maksud kamu apa?” Rio menatapku bingung.
***
“Bukan begini cara membuktikan diri kalau kau tak serupa dengan Mama!” telapak tangan mama mendarat di pipi kiriku.
“Ibu tidak pernah ada niatan menciptakan kau seperti kami!” pipi kananku merah berbekas sehabis ibu mendaratkan telapak tangannya.
Akhirnya aku terusir dari rumah, setelah Rio menitipkan janin di rahimku. Tapi, aku merasa hambar ketika pelukan Rio menghiasi malam-malam selanjutnya, malam selepas akhirnya aku terpaksa harus bersanding dengan Rio di pelaminan. Ya, dekapan Rio tak sehangat pelukan mama dan ibu.***
Garut, September 2015
Sandza, berprofesi keseharian sebagai pengajar Aritmatika kelahiran Garut 29 Mei. Cerpen-cerpenya pernah dimuat di koran Pikiran Rakyat, Inilah Koran, Radar Surabaya, Merapi, Minggu Pagi, Solo Pos, Metro Riau, Tribun Jabar dan Republika. Pernah juga beberapa kali memenangi lomba menulis puisi dan cerpen.