“Mereka hendak memberi bencana kepada kita. Mengambil alam yang telah kita pelihara untuk apa yang mereka ingini.” Mak menahan emosi.
“Jika tidak berhati-hati, asap ini akan segera menebar bencana,” ujar bapak yang membuat tubuhku bergetar.
***
Perkataan bapak benar. Beberapa malam selanjutnya asap mengungkung langit. Makin hari makin tebal, makin pekat. Mataku sudah tak mampu lagi melihat langit malam. Pandangan telah tertutup kabut asap yang menutupi cakrawala. Aku mulai merasai kehilangan malam. Bintang-gemintang yang biasanya bertebaran menghiasi malam, kini enyah seperti ada yang menggusur. Siuran angin malam yang memberi kesejukan berubah menjadi tiupan pendatang malapetaka.
Kekhawatiran bapak terjadi. Orang-orang suku meminta bapak untuk menemukan penangkal bala yang menyelimuti kampung kami. Mau tidak mau, bisa tidak bisa, bapak menyanggupi. Seperti biasa aku bertugas mengiringi tarian bapak dengan tabuhan bebano. Aku menduga malam ini kabut asap telah berada di puncaknya. Bapak tampaknya juga menyadari hal itu. Beliau sebentar mendekatiku dan berbisik di telinga. Tanpa mempedulikan aku yang mengerti dengan maksud ucapan bapak, bapak segera memerintahkan untuk menabuh bebano. Bapak sudah bersiap dengan gerakan tarian olang-olang.
Maka asap semakin tuntas menyampaikan kesumatnya. Mataku mulai terganggu dengan sekawanan asap yang memasuki mata. Kerongkonganku terusik hingga membuatku terbatuk terus-menerus. Gerombolan asap itu seperti tengah berupaya bagaimana agar tabuhanku terhenti dan bapak gagal dengan ritual pengobatannya malam ini. Mereka menyerbuku semakin kuat, semakin garang. Sementara itu bapak telah hanyut dalam tarian olang-olang yang mulai membawa bapak ke alam petunjuk, alam roh soli.
Pikiranku benar-benar terpecah. Dalam pandanganku, yang terlihat bukan lagi bapak yang sedang menari olang-olang. Aku sedang melihat kobaran api yang membesar dan kini hendak memakan kampung kami. Aku melolong berupaya menghilangkan bayangan-bayangan aneh yang mengganggu. Akan tetapi tak jua kunjung sirna. Semua semakin dilengkapi dengan gumpalan asap yang semakin tebal, semakin pekat. Aku terperangkap, terjerat. Jari-jemariku masih mencoba terus bertahan memukuli bebano meski kekuatannya tak kuat seperti semula. Di tengah keadaan yang sekarat itu, aku teringat sesuatu yang dibisikkan bapak sebelum tadi bapak memulai ritual tari olang-olangnya.
“Barangkali malam ini adalah tugas yang paling berat bagimu. Asap semakin tidak bisa dikendalikan dan bertambah ganas. Orang-orang suku kita bisa binasa jika ini tidak menemukan akhir. Kau harus tetap menabuh bebano walau apapun yang terjadi. Jika tabuhan kau terhenti, maka bapak selamanya akan berada di alam roh soli dan tak bisa lagi kembali. Bila itu memang benar-benar terjadi, kaulah yang selanjutnya harus menari. Menarilah, menarilah dengan hati, menarilah bersama malam,” ucap bapak tegas dan memaksaku untuk memahami kata-katanya yang panjang.