Diselingi purnama yang tengah bertamu. Langit malam sangat indah, begitu memukau. Aku yakin sekali bapak tengah membaca pesan alam dengan amat jelas. Sedangkan yang dapat aku lakukan hanya diam membisu sembari menenangkan pikiranku yang memberontak untuk tidak menari. Bapak mungkin sedang mencium sesuatu yang tidak baik. Tapi aku merasa lega saat ini. Lega karena pikiran bapak sedang terpecah sehingga tidak begitu memusatkan perhatiannya pada perkembangan tarianku yang tiada hasil.
“Ada apa, Pak?” tanyaku akhirnya tak bisa menahan kata. Bapak masih berdiri terpaku. Tidak menyahuti ucapanku.
“Pak?” ulangku lagi.
“Ada tamu jauh pembawa bencana yang datang,” ujar bapak lirih.
Aku tidak heran dengan kemampuan bapak membaca hal-hal yang tidak bisa terbaca dengan kasat mata. Namun kali ini tamu jauh pembawa bencana yang dikatakan bapak benar-benar membuatku heran. Selama ini kami Suku Sakai yang tinggal di pedalaman tidak pernah terusik bencana. Lalu bencana apa yang tengah dimaksud bapak.
“Jika kita tidak hati-hati, kita akan kehilangan malam-malam yang indah seperti ini,” ujar bapak seperti menahan sebuah kegetiran. Pandangan bapak terarah ke langit malam yang cerah.
“Lekas lanjutkan latihan. Kau harus bisa sebelum segalanya terlambat!” lanjut bapak yang membuat kelegaanku menghambur seketika. Ucapan bapak membuat darahku berdesir. Keherananku tidak terjawab, kekhawatiran mengelindap. Lalu tarian itu... entah kapan.
***
Aku tahu jawaban dari perkataan bapak di malam esoknya. Malam ini begitu aku selesai mengiringi bapak dengan tetabuhan bebano, aku membaui sesuatu yang sangit. Ia perlahan-lahan memasuki kampung kami, dan meninggalkan sebuah prahara. Kampung kami mulai diselimuti asap yang belum diketahui dari mana asalnya. Sambil mengemasi peralatanku, kulihat bapak sedang berbicara serius dengan datuk kepala suku dan lelaki seumuran bapak.
Kami sudah larut malam tiba di rumah. Mak menyambut kepulanganku dan bapak dengan rona muka yang murung. Meski begitu, di tangan mak telah sedia sebuah cangkir berisi air jahe hangat untuk disuguhkan kepada bapak.
“Apa benar asap itu berasal dari rimba sebelah utara, Pak?” tanya mak di sela-sela bapak menikmati minumannya.
“Sepertinya begitu. Datuk kepala suku mendapat kabar bahwa ada orang-orang asing datang membawa alat-alat menebang pohon di hutan sebelah utara. Mereka membakar hutan setelah pohon-pohon itu mereka tebang.” Bapak berbicara dengan suara lesu.
“Apa orang-orang suku tidak ada yang ke sana dan memberi peringatan?” tanya mak.
“Sudah. Tapi begitu ke sana, mereka tidak ada lagi. Orang-orang suku hanya menemui lahan yang telah dimakan api.” Bapak menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
“Kenapa orang itu melakukannya, Pak?” tanyaku.
Bapak tidak menjawab. Matanya terpejam dan kepalanya terarah ke langit-langit rumah. Mak menyela.