“Dahulu ladang ini besarnya bukan kepalang, tapi pagi buta itu orang-orang suruhan pemuda kota mereka membawa minyak-minyak. Menumpahkan dirigen besar ke ladang, membakar pelan-pelan. Nyala api itulah api kehidupan di kampung kami pada hari-hari berikutnya. Tak ada yang lain, setiap hari satu ladang sudah rata dengan tanah. Mereka duduk, menghisap rokoknya, setelah habis mereka berpindah ke ladang lain. Tampak dari matanya ada kegembiraan telah meluluhlantakkan jiwa-jiwa. Kampung dipaksa menjadi mimpi kota.”
“Kampung dengan cepat dilalap api. Tak ada lagi ladang, petak sawah atau karet-karet yang ditunggu panen. Semua digarap dengan keserakahan. Pemuda itu datang dengan membawa logika kota. Ia mendepak adat kampung kami. Tebing yang menghadang dipecah, ditukar menjadi lautan perniagaan orang-orang seberang. Orang yang wajahnya tak serupa dengan kami. Saat itu aku merasakan gadis itu adalah tulang rusuk yang setengah hidup. Menunggu dikubur bersama orang-orang kampungnya. Lalu, generasi selanjutnya akan enangis di pusara pemakaman dan memperingati setiap tahun apa yang dirasakan.”
“Inilah kampung itu, selama puluhan tahun mereka selalu membakar kampung ini. Mereka mengajari kegelisahan untuk membakar apa yang belum terbakar. Wajah-wajah kampung dibakar, bara api dimana-mana. Selama puluhan tahun kampung ini dibakar pelan-pelan. Orang-orang kampung diusir dengan perlahan. Kampung ini gelap, tak ada lagi matahari. Kau tak akan menemukan pagi, siang atau malam. Kau harus berlayar ke seberang untuk menikmati mentari pagi. Disini, membakar adalah sebuah kewajiban tradisi yang harus dijaga. Kampung ini sudah berubah arah. Mereka percaya bahwa asap dari lahan terbakar itu adalah keberuntungan. Semakin banyak kabut asap, maka semakin banyak keberuntungan. Burung-burung mencari rumah baru. Orang adat sudah tua, menunggu mati berganti dengan generasi yang hilang arah. Diajarkan menghirup kabut asap agar mereka sadar bahwa asap adalah belahan jiwanya.”
“Kini kampung itu berubah menjadi kota. Persis seperti mimpi yang diimpikan oleh ketua adat kampung kala itu. Gadis itu berhasil ia nikahi, kampung itu ia ubah wajahnya jadi kota. Matahari segera diganti dengan nyala api. Dimana-mana api berterbaran, orang-orang gembira, bersenang-senang. Anak-anak di kota ini pun diberi nama dengan kabut atau asap. Itu adalah nama keberuntungan, sebab jika ia mati kelak pasti ia masih dalam keberuntungan. Kota dipenuhi ruko-ruko, dibalik ruko masih ada api yang membara. Orang-orang dengan tangan berminyak, bersiap memantikkan api. Pelan-pelan dan menjaga agar tidak ada yang memadamkan. Saat asap itu datanglah kami mulai terbiasa menggunakan penutup wajah ini. Menyaring asap keberuntungan. Setiap hari, waktu dan tak akan berhenti. Kami senang dan riang. Orang-orang datang, ikut membakar dan membawa saudaranya untuk membakar.”
“Jadi itu yang menyebabkan ...?”
“Pasang lagi maskermu! Setelah ini baru kita ke pusara Kakekmu.”, ucap nenek sambil menggerus derasnya rintih air mata di pipinya.***
Rian Harahap, mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Unri. Guru Bahasa Indonesia SMA Darma Yudha Pekanbaru.