OLEH RIAN HARAHAP

Kampung Jerebu

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:37 WIB

“Iya memang dari kota, tampak dari gaya bicaranya yang tertata rapi. Kuda yang bersih dan wewangian yang mencolok dari balik tubuhnya. Waktu itu semua terpana, tak terkecuali gadis belia ini. Jelas saja, dengan wajah yang tak biasa seperti orang-orang kampung kami. Rasanya rembulan jatuh di pelupuk mata ini. Tak lekas berkesudahan memandangi wajahnya. Bukan kepalang bintang berputar dengan riang, senang. Tak bisa kulupakan semua itu dengan cepat.”

“Dia siapa Nek?”

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

Goresan wajahnya bergerak, mengernyit lalu kembali memandang jauh tentang memori di balik tebing.

“Pemuda itulah yang punya uang. Ia datang dari kota. Ia membeli semua hasil produksi kami. Baginya datang ke kampung kami untuk membantu. Orang-orang senang dengannya, bahkan seorang pemuka adat dengan sengaja berandai-andai. Ya, andai saja gadis belia itu dinikahkan dengan pemuda tampan dari kota tersebut. Lalu orang-orang pun tertawa. Ruangan yang penuh sesak dengan tawar menawar harga pisang, karet dan beras. Kontan saja tertawa, mereka melepaskan sedikit bahagia dari pengandaian tadi. Sementara, gadis belia itu tersenyum mengintip dibalik dinding tepas. Mendengar dan menatap dalam ke arah pemuda itu.”

“Semuanya berjalan cepat, tak ada yang bisa menduga jika gadis belia itu akhirnya dipinang oleh pemuda kota. Namun tidak serta merta, wajah guratan ketua adat kampung gembira, ia punya syarat jika anaknya dipinang. Syaratnya hanya satu, ubahlah kampung ini menjadi kota yang maju.”

“Pemuda menyanggupi dan menangkap janji.”

“Mereka tinggal di kampung itu. Pemuda kota yang memindahkan orang kota untuk semakin sering berniaga ke kampung itu. Sawah-sawah panen besar, ladang-ladang semakin membuat orang kampung hidup berkecukupan. Pemuda itu memang membantu, ia bawakan uang dari kota, dipinjamkan lantas itulah yang menjadi modal orang kampung. Orang kampung itu pun menjadi senang bukan kepayang. Mereka berpesta tak hanya malam bahkan sampai siang.

Pemuda itu, Ya suamiku itu memang menjadi orang hebat. Pelan-pelan ia mengubah kampungku menjadi kota. Lalu ia menjerat semuanya. Sawah-sawah, ladang dan kebun yang senantiasa kami jaga sepanjang adat, dipaksa hilang. Pemuda itu menodongkan wajah kotanya. Dengan bengis, ia membeberkan kegilaan tentang dunia hilang. Menghilangkan sawah, ladang. Gadis belia itu? Ia hanya bisa duduk dengan tenang, seraya seperti janjinya sehidup semati. Orang kampung dijerat dengan kolom-kolom kebahagiaan. Semu tapi palsu, menambah gundah hati yang dikebiri. Orang-orang kampung saat itu ditodong senjata, menyerahkan ladangnya. Tak sanggup membayar hutang, dipaksa berpindah ladang, hingga tak lagi menemu tanah untuk dipancang. Orang kampung berangkat mencari kampung baru. Mereka tak sanggup berdampingan dengan pemaksaan di kampung ini.”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook