OLEH RIAN HARAHAP

Kampung Jerebu

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:37 WIB

Gadis belia itu tahu benar cerita kenapa kini kampung ini menjadi hunian bagi orang-orang yang menutup wajahnya dengan masker. Konon jika ada saja orang kampung ini menunjukkan wajahnya yang selama ini sudah tertutup, itu berarti melawan adat, bentuk ketidaksopanan, atau barangkali menjadi hal untuk mengikrarkan diri untuk keluar secara sadar dari keanggotaan kampung. Inilah adat yang sudah dijunjung di kampung kami, aku pun harus mengikut turut, biar tak jatuh dalam kesalahan adat.

Gadis belia yang kini kantung matanya sudah mengendur jauh itu, mulai menceritakan darimana asal muasal kampung ini. Dengan sedikit gemetar, ia raih dengan tangan kirinya tongkat, lantas ia balik gagangnya. Disana ia menggosok-gosok sebuah tulisan, dengan bahasa arab melayu. Aku sulit untuk membacanya, namun gadis belia itu langsung meneteskan air matanya. Pelan merembes dengan aliran syahdu, menyisip dibalik kantung matanya, pelan lalu jatuh ke bumi. Ia terus menatap tulisan tersebut dan membuang pandangan ke arahku.

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Kau yakin ingin mendengarnya?”

Anggukan pasti kukirimkan padanya. Lalu mengalirlah cerita itu sederas-derasnya. Tak perduli ada batu karang yang menghadang, sebab cerita itu tak lagi bisa ia bendung, meski disimpan dalam lemari kaki langit sekali pun, ia pasti terkuak ketika ada yang ingin benar-benar mengetahuinya. Mengalirlah laksana perahu yang berada di lautan lepas.

“Kampung ini, ya semua di kampung ini adalah orang-orang baik. Tak adalah yang tidak paham agama. Semenjak tahun-tahun yang tak lagi bisa disebutkan asal muasalnya. Begitulah adanya, kami hidup dengan segala aturan adat kampung. Aku masih ingat waktu itu setiap hari kami bermain dan bercanda dengan tawa lebar yang mengisi ruang tebing-tebing. Ya dulu, disini ada tebing, kami suka berteriak di dalamnya, mencoba berteriak sepuasnya. Bila senja kami sudah harus duduk di langgar, mengulang kaji dengan tunjuk ajar.”

“Semua begitu sempurna, masa kecil di kampung. Orang-orang kota, ya kota dulu berada di balik tebing ini. Kami tak bakal bisa melihatnya, disana berdiri kota yang megah. Dengan orang-orang yang bajunya tak sedikit pun ada lipatan, licin dan bersih. Sampai akhirnya ada seorang pemuda datang ke kampung ini”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook