“Malam itu cahaya begitu remang, hanya ada beberapa rumah yang masih ingat untuk menyalakan lampunya. Pelan-pelan aku duduk di sebuah kursi panjang, merasakan ada aura yang berbeda hari ini. Darah yang mengucur ke seluruh penjuru. Orang-orang yang sesak dengan melukai diri sendiri. Aku sudah coba untuk menahan mereka untuk tidak mengulangi penyiksaan terhadap tubuhnya sendiri, apa daya. Aku pun harus dimaki dan dicela olehnya hanya karena menghentikan ia membenturkan kepalanya yang terus berdarah ke tiang besi.”
“Langit begitu mendung, setelah gerimis memutar. Ada kawanan angin yang menyerbu kampung kami. Ia menyelip di antara suasana kegelisahan yang bergumam di hatiku. Aku bingung hendak bertanya dengan siapa. Perihal menuntaskan luka yang sedang mendera kampung kami. Aku pun terus berjalan, menelusuri jalan hingga ke ujung kampung, tepat di pinggir sungai. Entah kenapa aku merasa ada panggilan luar biasa dari nenek moyangku untuk berdiam disana melantunkan keluh kesah malam ini. Sepanjang perjalanan aku menemukan tubuh-tubuh yang rubuh. Ada yang menggeletar terkapar, dan anehnya semuanya sepakat untuk mengikuti tubuh-tubuh yang rubuh.”
“Mataku tak sanggup lagi melihat tubuh-tubuh tersebut. Mereka didominasi tubuh dewasa yang mulai ringkuh, namun anak kecil yang tak berdosa pun seakan angkat tangan untuk turut dalam nelangsa. Langkah gontai kakiku semakin kecil. Aku semakin tak sanggup melihat wajah mereka, kutundukkan kepala ini. Menerkam cacing-cacing tanah, yang sudah siap melahap tubuh-tubuh mereka. Satu demi satu suara tangisan mulai menghilang. Semakin terdengar sayup dari kejauhan. Suara itu tak lagi membuat gemericik di antara kesenyapan sungai.”
“Aku berdiri di pinggir sungai dan ada yang terlewat olehku. Ada sebuah speedboat datang dari ujung ladang. Orang-orang petinggi perusahaan rupanya. Aku pun bersiap lalu berdiri, menunjukkan rasa sopan. Mereka tampak masih mengenakan helm proyeknya. Ingin aku sampaikan padanya, bahwa kampung sedang mengalami kekacauan besar. Semua dilanda kesedihan tentang kepiluan, mereka semestinya tahu dan pergi memanggil bantuan kepada orang-orang diluar kampung.”
“Speedboat itu memelan lalu menepi, lantas aku pun mendekati mereka. Aku bingung hampir semua dari mereka merupakan petinggi perusahaan pengeruk minyak bumi kami. Mereka sangat lengkap, ditambah beberapa kotak yang tersusun rapi di bagian belakang. Tuan hendak kemana? Singgahlah sebentar disini ada kekacauan hebat. Orang-orang menangis dan melukai dirinya sendiri Tuan.”
Bibirnya bergeletar. Lidahnya kelu. Ia tak bisa mengucapkan banyak kalimat dan tidak seperti biasanya. “Aku harus pergi, ini bacalah surat ini.”