CERPEN RIAN HARAHAP

Ladang dan Pemakaman

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:01 WIB

Ladang dan Pemakaman

“Lantas speedboat itu pun langsung tancap gas dan meninggalkan aku sendiri di tepian dermaga. Aku ribuan pertanyaan di kepalaku. Apa yang membuat ia pergi dengan sangat cepat dan hanya meninggalkan pecahan gemercik di tengah kesengsaraan. Aku pun duduk mengambil jarak dari bibir sungai. Disana aku membuka amplop dan membaca secarik kertas di dalamnya. Bagiku membaca di saat seperti ini tidak begitu penting, apalagi suasana kalap dan cahaya yang remang.”

Kumulai dari sebercak tulisan, “Krisis ini semakin besar dan sumber minyak bumi di daerah ini sudah habis. Maka dengan ini perusahaan ditutup dan segala hutang perusahaan ditanggung kekayaan karyawan.”

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Pasal inilah yang membuat guratan kilat di kepala. Kelebat petir menggema meski tak hujan. Kampungku yang dahulu disebut sebagai langit yang tak akan habis mengucurkan hujan kini menjadi ompong. Pernyataan gila apa yang sedang kubaca di kertas ini. Semua yang kami miliki, tanah kami yang kaya akan minyak bumi. Aku yakin mereka sedang bersandiwara, tapi sandiwara tidak akan sesadis ini membuat orang-orang rubuh dan menangisi hartanya. Mereka, orang-orang kampungku sedang menangisi takdir mereka tentang ramalan kekayaan. Mereka lupa perihal hujan tak akan terus turun, sebab masih ada musim kemarau yang bakal datang di kemudian.”

“Di pinggir sungai ini aku duduk melihat bercak darah memenuhi sungai-sungai. Suara semakin hilang. Warna pun memerah saga, dan naik hingga ke dadaku. Aku tenggelam dalam kerakusan. Kampung kami tentang ladang dan disini kami dimakamkan. Kami mati dalam kedangkalan. Tanah yang tak lagi menyemburkan api abadi. Mati sendiri atas nafsu yang melupakan takdir Tuhan. Lantas aku terngiang tentang nenek moyang, pesan-pesan yang kami lupakan. Menjaga tanah bukan menyengsarakan tanah.”

“Saya pikir cukup dan sudah menceritakan semuanya Pak. Silahkan hukum mati saya Bapak Hakim! Saya sudah siap.”***

Rian Harahap, alumni Magister Pendidikan UNRI. Menulis cerpen di beberapa media cetak dan online.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook