CERPEN RIAN HARAHAP

Ladang dan Pemakaman

Seni Budaya | Minggu, 21 Februari 2016 - 00:01 WIB

Ladang dan Pemakaman

“Orang-orang di kampung pun tertawa, mereka senang dengan segala tukaran tawa dari orang pandai. Bisa dibayangkan, orang pandai itu hanya bisa duduk melihat dan memperkirakan semuanya tak akan habis oleh ribuan turunan kami. Kalian tahu? Kampung ini tak lebih dari sebuah daerah sub-urban yang dulunya tak dihuni. Nenek moyang kami malah tinggal di seberang kampung, melewati sungai-sungai kecil yang mengular. Sekumpulan orang dari negeri seberang datang. Entah dengan judul ekspedisi apa, namun mereka memastikan di seberang sungai akan dihuni oleh orang-orang kaya. Kekayaannya tidak akan mampu tertukar zaman dan waktu.”

“Sontak saja nenek moyang kami gemetar, mereka seolah tidak percaya dengan bangsa asing yang mencoba menerka-nerka rawa di seberang. Ada jalan pikiran seorang nelayan yang tak bisa menurut dengan pria asing yang bersih tampilannya, mengenakan arloji serta jas yang cukup rapi. Mereka orang-orang dari sebuah perusahaan besar dari negeri lain. Janjinya akan mengeluarkan dari perut bumi, lautan emas hitam yang tak pernah diketahui orang-orang. Nenek moyang kami pun kebingungan, tatkala wajah-wajahnya dihadapkan pada perintah negeri. Di negeri kami, setiap orang asing yang mengajak menjadi kaya raya tak boleh ditolak. Siapapun itu, mereka harus rela menampakkan senyum terbaik di hadapan bangsa asing berjas tersebut. Begitulah nenek moyang kami merelakan kampung seberang, yang merupakan pemakaman generasi terdahulu dari mereka. Di sana ratusan makam sudah menyatu dengan akar-akar pohon beringin.”

Baca Juga :BBPR Gelar Bedah Kumpulan Cerpen

“Nenek moyang kami, duduk berlama-lama di atas sampannya. Ia menangguk kesedihan, di antara bubu yang dipasangnya di tengah arus. Pelan-pelan nenek moyang kami, melihat satu demi satu pohon-pohon ditebangi, makam-makam pun digali hingga tak lagi terperi rasa pedih mendengar gesekan tulang dengan besi-besi yang menggaruknya. Ada mesin algojo-algojo yang datang untuk meraung lalu menumpahkan lumpur-lumpur dan menggantinya dengan minyak-minyak.”

“Saat itu pula lah, semua berubah arah. Nenek moyang kami pindah ke kampung seberang. Sampai pada generasi kini, saat tulang-belulang mereka pun sudah hilang. Ya inilah kampung kami.”

“Dan bagaimana hari kelam itu? ketika kematian datang ke kampung kami? semuanya berawal ketika aku pulang dari kampung seberang, setelah mengunjungi keluarga disana. Sepanjang jalan hanya ada keheningan, kepai angin menjejak di pohon-pohon kelapa, namun tiba-tiba semakin dekat dengan rumahku terdengar suara ledakan. Ya ledakan tangisan, bukan ledakan dari yang lain. Orang-orang menangis, meraung, mencela siapa saja yang mendekatinya. Amarah mereka sudah ditanam, tampak dari mata yang membangkang.”   

“Ada kepulan ragu di kepalaku, menyoal asal mula tangis yang membuat buncahan emosi meliar di kepala mereka. Serempak, satu demi satu alunan itu menghentikan langkah. Aku tak berkedip melihat wajah-wajah mereka. Persis sebuah pengulangan dan terus melakukan gerakan itu, tak ada sakit di wajah dan tubuh mereka. Aku tak yakin tangisan yang keluar dari sorot matanya bukan karena sakit, namun lebih kepada sebuah hal yang belum juga bisa kuungkap.”









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook